Connect with us

Tidak mudah menulis biografi tokoh seperti Pangeran Diponegoro. Kesulitan pertama berkaitan dengan jarak masa hidupnya dengan zaman sekarang. Beliau hidup pada awal abad 18, dua abad yang lalu.

Kesulitan kedua: Sang Pangeran memiliki nama besar dan namanya telah diglorifikasi dengan gelar pahlawan nasional. Kekaguman dan rasa hormat masyarakat terhadapnya, bisa menjadi kendala yang membuat para sejarawan menulisnya dengan jujur.

Penulis biografi Pangeran Diponegoro, Peter Carey, mengakui dua kesulitan itu tak bisa ia hindari ketika menulis buku ini.

Namun dengan terbitnya buku Takdir ini – juga versi yang lebih panjang berjudul Kuasa Ramalan – membuktikan kesulitan-kesulitan itu bisa diatasinya.

Sebagai sejarawan yang dilahirkan dalam tradisi riset Barat, Carey tampaknya menggunakan metode penulisan historiografi secara ketat.

Selain menjadikan Babad Dipanegara sebagai sumber utama, ia harus mengumpulkan berbagai catatan para serdadu Belanda yang bertugas semaca Pangeran hidup.

Ia mengumpulkan catatan-catatan dari serdadu berbangkat rendah hingga catatan Gubernur Jenderal.

Saya membayangkan, merajut sumber-sumber itu menjadi narasi yang utuh bukanlah pekerjaan yang mudah.

Kerja intelektual Carey lewat buku Takdir ini, membantu saya membaca Diponegoro dengan lebih berjarak. Kronik-kronik kecil tentang kehidupan anak-anak, remaja, pangeran, dan kemudian pemimpin perlawanan berhamparan. Kronik akan membuat saya memahami Diponegoro sebagai manusia, tidak semata-mata sebagai “pahlawan pemimpin perang”.

Kronik kecil yang mengejutkan saya, misalnya, adalah pengakuan Diponegoro bahwa dia mudah tergoda oleh pesona perempuan. Bahkan ia mengaku pernah tidur dengan perempuan China yang menjadi juru pijatnya.

Ini pengakuan yang mengejutkan karena ia dikenal sebagai pangeran yang reilgius.

Dengan menelaah data dan catatan kritisnya, saya dapat mengurangi kesan-kesan mesianistik yang selama ini ada dalam pikiran saya.

Sebaliknya, dengan mengisahkan hidup Sang Pangeran, Carey membentangkan kondisi Jawa secara lebih luas.

Itu karena Carey memberi latar yang detail seputar kehidupan Diponegoro, baik saat bocah di Tegalrejo, hidup di Keraton Yogyakarta, hingga akhirnya menggalang perlawanan massif pada 1825.

Carey menyebut Diponegoro sebagai pribadi yang hidup pada masa transisi Jawa. Sebagaimana ditegaskan pada bagian akhirnya: Pangeran adalah “anak” dari kondisi pada masa itu.

Ini buku bagus yang sepengetahuan saya – secara akademik – paling otoritatif.

Gaya bercerita Carey relatif mudah dipahami, meski ia enggan melepas gaya ilmiahnya dengan teknis sitasi yang ketat.

Satu-satunya hal mengganjal yang saya temui pada buku ini adalah Pengantar yang ditulis Goenawan Mohamad.

Pengantar itu ditulis dengan gaya yang nyaris tidak bisa saya pahami satu kalimat pun.

Itu pengantar yang sebenarnya menjadi penghalang, membikin saya menunda menyelesaikan buku ini setelah setahun lalu mendapatkannya langung dari Peter Carey.

Saran saya: lewati saja pengantar itu. Langsung saja ke bab pertama, nikmati kisah demi kisah manusia Jawa-Islam yang siap “menjemput” takdirnya.

Salam,
Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending