Connect with us

Teman ngopi saya malam ini, Feriadi Muhammad, punya kegelisahan tentang takhayul.

Dia dosen pendidikan ekonomi yang sedang mendalami studi tentang perilaku ekonomi.

Takhayul menggelisahkannya. Kegelisahan itu muncul – agaknya – karena takhayul punya kontribusi membentuk dan menggerakkan perilaku ekonomi publik.

Di sisi lain, takhayul tak dapat didekatinya menggunakan ilmu-ilmu ekonomi sebagai sains sosial.

Saya menanggapi itu dengan pendapat sekenanya, bahwa takhayul musti dipandang sebagai mekanisme komunikasi.

Dalam konteks ini, takhayul punya kesebangunan dengan mitos. Bahkan pada beberapa aspek, ekonomi modern sendiri bekerja dengan platform takhayul.

Sebagaimana mitos lain, takhayul beroperasi dengan menawarkan penjelasan adikodrati atas fenomena tertentu.

Karena penjelasannya bersifat adikodrati, ia tak didukung bukti konkret. Penjelasan-penjelasan itu kerap melalui jalur cepat dengan menerabas disiplin kausalitas.

Dalam posisi itulah, saya memandang mitos bukan sebagai sekumpulan fakta. Ia hanya strategi berkisah.

Sebagai berkisah, mitos yang behrasil tidak diukur berdasarkan kesesuaian fakta-fakta cerita dengan kondisi empiris.

Kesuksesan mitos musti diukur dari kemampuannya menyampaikan pesan yang memungkinkan pesan itu tak cuma dipahami, tapi juga dihayati.

Kisah Malin Kundang sukses bukan karena ia dibangun dengan detail yang empiris. Ia sukses karena mampu menghadirkan imaji kengerian yang bisa dirasakan oleh anak durhaka.

Kengerian itu berguna secara afektif untuk membuat anak berperilaku baik kepada ibunya.

Dulu saya suka mengolok nasihat “Jangan duduk di bantal, nanti bisulan”.

Itu nasihat yang kocak sekali.

Tapi sebagai mitos, ia berhasil menjadi sistem kendali perilaku karena bekerja dengan mekanisme tertentu.

Setidaknya ada tiga syarat mitos yang bekerja. Pertama, mengandung nasihat yang sejalan dengan kearifan kolektif komunitas.

Kedua, dituturkan oleh subjek yang otoritatif. Ketiga, mengandung ancaman atau janji kebaikan bagi yang melanggar atau mematuhinya.

Tiga syarat mitos itu sebenarnya tidak ekslusif untuk mendukung beroperasinya mitos tradisional.

Mitos-mitos ekonomi dan sosial modern juga beroperasi dengan cara yang sebangun.

Uang, bank, dan negara bekerja dengan memanfaatkan tiga unsur itu.

Karena itu, mitos yang dalam sains modern cenderung dianggap sebagai anak jadah, ada baiknya kalau didudukkan ulang. Sebagai anak peradaban, ia sama terhormatnya dengan teori, tafsir, dan analisis.

Ketiganya punya posisi setara dalam membentuk pandangan dunia individu dan pada gilirannya membentuk perilaku.

Saya pernah dengar (belum temukan referensi tertulisnya) kalau Prof Kuntowijoyo telah merintis pendekatan etnografi yang berkait dengan takhayul dalam analisis sosialnya.

Salah satu gagasannya, ia menyebut tuyul sebagai mekanisme sosial bagi masyarakat miskin pedesaan untuk menggugat legitimasi moral para juragan lokal yang kaya raya.

Dengan memperkenalkan konsep tuyul, orang desa sedang menarasikan suatu sistem ekonomi yang tidak adil. Karena tidak adil: ia musti digugat.

Sebagai mitos, tuyul bekerja bukan karena secara material dia eksis. Tuyul berhasil karena ia mampu menarasikan kesenjangan ekonomi di desa-desa.

Mungkin begitu.

Rahmat Petuguran

Catatan:
Kalau ada tuyul yang baca tulisan ini, mohon Anda jangan tersinggung karena saya menyangsikan eksistensi Anda. Jangan curi uang saya tidak seberapa.

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending