Connect with us

Setelah baca berita, saya sering merasakan godaan besar untuk segera berkomentar. Komentar itu biasanya saya tulis dengan keyakinan penuh seolah-olah saya mengetahui peristiwa itu dengan persis.

Godaan ini cenderung menjerembabkan. Rasa “mengetahui” mengisolasi saya pada usaha mencari kebenaran. Berbeda dengan perasaan tidak tahu dan skeptis yang memotivasi orang untuk bergerak, perasaan mengetahui menciptakan rasa nyaman yang membuat orang cenderung diam.

Untuk mengendalikan godaan itu, saya merenungkan jarak kebenaran berita dengan kebenaran objektif. Dalam banyak hal, kebenaran dan apa yang saya kira sebagai kebenaran adalah hal yang sama sekali berbeda.

Perbedaan itu dapat ditelusuri dengan membandingkan berbagai jenis realitas.

Realitas Objektif

Katakanlah ada sebuah kecelakaan. Kecelakaan sebagai realitas adalah peristiwa itu sendiri. Peristiwa itu adalah entitas di luar diri dan pikiran manusia. Manusia adalah bagian dari realitas yang super kompleks itu.

Realitas objektif adalah gejala yang super kompleks. Sebab, realitas ini tercipta oleh berbagai variable yang tidak terbatas jumlahnya. Variable-variabel itu terhubung, saling mempengaruhi, dengan berbagai kemungkinan yang tak terbatas pula. Sebagian tipe relasi itu dapat dicerna indra, tapi banyak lainnya tidak.

Realitas Kognitif

Saat saya menyaksikan kecelakaan, saya berusaha memahami peristiwa itu. Pemahaman itu terbangun karena informasi yang saya terima melalui alat indra dengan pola pikiran tertentu.

Realitas kognitif berwujud ide yang hanya eksis dalam pikiran. Karena itulah realitas objektif bersifat abstrak.

Karena merupakan potret abstrak atas peristiwa actual, realitas kognitif cenderung realtif sederhana dibanding realitas objektif. Dalam banyak kasus, realitas kognitif bahkan sama sekali berbeda akibat sikap dan ideologi tertentu.

Realitas Bahasa

Setelah menyaksikan kecelakaan, saya mungkin akan menulis atau menceritakan peristiwa yang saya lihat kepada orang lain. Saat menuturkan peristiwa itu, pada dasarnya, saya sedang mengekspresikan realitas kognitif dengan alat ekspresi bernama bahasa.

Realitas bahasa adalah lukisan ulang peristiwa yang tersimpan dalam pikiran manusia. Dibanding realitas kognitif, realitas bahasa cenderung lebih sederhana karena bahasa memiliki sejumlah keterbatasan. Selain keterbatasan kosakata, bahasa juga terbatas karena memiliki susunan gramatikal yang terbatas pula.

Kalau kita percaya dengan teori gambarnya Ludwig Wittgenstein, bahasa adalah alat lukis yang digunakan penutur untuk menirukan objek yang diluksinya. Kemampuan pelukis sangat ditentukan oleh stok cat dan karakter kuas yang digunakan.

Realitas Berita

Berita yang baik ditulis supaya sefaktual mungkin. Wartawan yang baik akan berusaha menggambarkan peristiwa atau fenomena yang dilaporkannya sepersis mungkin dengan realitas objektif.

Tapi, meskipun niat baik itu ada, wartawan tetap memiliki keterbatasan kognitif, keterbatasan bahasa, dan tak kalah penting: keterbatasan teknis.

Keterbatasan kognitif berkaitan dengan kemampuannya memahami realitas objektif sepersis mungkin. Meskipun ia berusaha menghimpun data dari sebanyak mungkin narasumber, informasi yang diperolehnya akans angat terbatas. Ada yang dilupakan, ada yang diabaikan.

Keterbatasan bahasa berkaitan dengan kemampuan wartawan menuangkan pengetahuan yang dimiliki dalam satuan gramatikal tertentu. Ada realitas yang ia pahami tetapi tak bisa dituliskan karena terkendala kemampuan berbahasa. Ada ingatan yang ditanggalkan, ada yang informasi yang tak terkatakan.

Berita bisa menjadi semakin berbeda dengan realitas objektifnya karena wartawna juga dibatasi teknis penulisan tertentu. Saat menulis berita lempeng (straight news), misalnya, ia harus patuh pada pole penulisan berbentuk piramida terbalik. Akibatnya, sejumlah informasi tak tertuliskan karena tidak sesuai dengan kaidah penulisan itu.

Dengan menelusuri perbedaan realitas itu, jarak antara realitas objektif dengan realitas berita sebenarnya bisa sangat jauh. Ketika realitas objektif dikonversi dalam bentuk berita ada berbagai pengacauan yang membuatnya bisa sangat berjarak.

Karena itulah, menganggap diri tahu sesuatu hanya setelah membaca berita tertentu adalah kenaifan yang memalukan.

Karena itulah saya pengin bilang: maafkan aku yang dulu (dan sekarang).

Salam,
Rahmat Petuguran

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending