Connect with us

Di era banjir informasi, media arus utama (mainstream) harus mampu menjadi media yang terpercaya. Disiplin verifikasi harus dijunjung tinggi, bukan hanya ngegongi berita di media sosial.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng  Amir Machmud N.S.  mengatakan itu dalam Bedah Buku Dusta Yudistira karya Achiar M. Permana dan Pilar-Pilar yang Membengkar karya Tim Perempuan Peduli Literasi di Aula Ranggawarsita, Balai Bahasa Jawa Tengah, Senin (27/5/2019)

”Supaya akuntabel, media massa harus menyampaikan fakta dan dan disiplin untuk melakukan verifikasi,” kata Direktur Pemberitaan Suara Merdeka itu.

Amir menjelaskan, kepercayaan publik, akuntabel, dan disiplin verifikasi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari media massa. ”Jurnalis harus disiplin melakukan verifikasi, bukan hanya mengegongi media sosial,” tandasnya.

Hoaks adalah sunatullah. Membuat orang melakukan apa pun dengan cara apa pun, termasuk dengan kebohongan, merupakan bagian keinginan untuk berkuasa.

”Hal yang niscaya dilakukan adalah melakukan kebohongan dengan membangun opini,” tambahnya.

Gaya Narasi

Amir merasa senang dengan penerbitan buku Achiar M. Permana yang berjudul Dusta Yudistira, Awas Hoax Bertakhta di Media Kita. Sudah lama tidak muncul wartawan-wartawan yang betul-betul setia pada narasi.

”Hampir lima tahun terakhir di berbagai pelatihan jurnalistik, saya selalu kecewa pada wartawan muda. Mereka tidak mengenal Goenawan Mohamad, Leila S. Khudori, Maria Hartiningsih, Albert Kuhon, T.D. Asmadi,” jelasnya.

Amir merasa tidak ada lagi sambungan inspirasi. Dulu penulis-penulis kolom, semacam Emha Ainun Najib dan Kang Sobari, selalu menyebut masa lalu yang membuat mereka terinspirasi. Ketika kita bertahan utk membaca berita dan betah mendengar radio, yang mengikat adalah kekuatan narasi.

“Wartawan harus membuat berita seperti memotret dalam fotografi. Keindahan tulisan seperti tarian kuas pelukis di atas kanvas,” kata Direktur Pemberitaan Suara Merdeka Group itu.

Akses informasi generasi milenial dan generasi Z, kata Amir, lebih pada aksen-aksen yang bersifat visual, gambar, infografik, dan sangat sedikit teks. “Ini persoalan pergeseran. Anak-anak sekarang membahasakan menangis, marah, dan tertawa dengan emoji,” tambahnya.

Amir mengapresiasi karya Achiar karena kesetiaan dan kepiawaiannya membangun narasi. Jangan sampai jurnalisme imajinasi berbelok ke jurnalisme emoji.

”Dulu ada tabloid olahraga dengan semboyan ‘Mengajak Anda ke Arena’. Teks semacam ini mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu, datang ke lapangan atau stadion untuk menikmati permainan sepak bola, misalnya,” jelasnya.

Amir mengajak wartawan-wartawan muda untuk menulis dengan imajinasi. Menulis adalah bagian dari sejarah jurnalistik.

”Menulis adalah sumber utama jurnalistik, bukan hanya infografik. Ayo kita kembali ke teks, ke imajinasi, ke kekuatan narasi. Karena dengan narasi yang kuat, kita kembali menjadi manusia,” pungkasnya.

Sementara itu, Dr. Redyanto Noor, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas DIponegoro (Undip) mengapresiasi penerbitan buku kumpulan cerpen Pilar-Pilar yang Membengkar karya Tim Perempuan Peduli Literasi (Pedusi). Mantan Dekan FIB Undip itu menyatakan, tidak banyak penerbit dan penulis buku yang menerbitkan buku di tengah ingar-bingar media sosial.

”Saya merasa senang pada pengelola Sint Publishing karena keberaniannya menerbitkan buku-buku sastra. Seorang penulis buku atau media massa juga patut diapresiasi karena harus taat pada kaidah menulis dan aturan penerbitan. Hal itu berbeda dengan menulis di media sosial,” katanya.

Seorang pembaca buku akan membaca judul dan membayangkan isi buku yang dibacanya. ”Saya membaca judul Pilar-Pilar yang Membengkar dan membayangkan isinya, bayangan saya sebagian benar dan sebagian lagi salah,” katanya.

Redyanto mengatakan, salah satu kekuatan seorang penulis terletak pada sudut pandang pencerita. Tidak semua penulis bisa sepenuhnya memindahkan sudut pandang ke tokoh cerita.

”Judul kan indeks dari isi cerita, harus ada kepaduan antara judul dan isi cerita. Dalam kumpulan cerpen ini, diksinya masih bombastis. Sulit ditafsirkan maknanya,” kritiknya.

 

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending