Connect with us

Bahasa Indonesia yang baik dan benar telah lama jadi bahasa standar. Kampanye penggunaannya dilakukan secara massif melalui lembaga pendidikan, media massa, dan alat komunikasi lainnya. Kampanye itulah yang membuat kebenarannya tidak banyak dipertanyakan. Namun demikian, kebijakan ini ternyata mengandung sisi gelap politik berupa maksud jahat.

Dalam buku Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa, Joss Wibisono menyebutkan setidaknya ada dua maksud politik jahat di balik diberlakukannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Dua pendapat ini disarikan dari pandangan indonesianis beken yang disebutnya sebagai sahabat sekaligus mentornya: Benedict Anderson.

Pertama, penggunaan EYD disebutnya telah membatasi kreativitas berbahasa orang Indonesia (hlm. 28). Sikap Ben Anderson untuk menggunaan Ejaan Republik dan menolak EYD dibaca Joss sebagai “ingin berpaling pada zaman ketika orang Indonesia lebih mandiri dan kreatif dalam berbahasa” (hlm. 31).

Kedua, perpindahaan ejaan Republik ke EYD telah memutus keberlangsungan tradisi literasi karena membedakan secara tegas bacaan yang lahir sebelum 1972 dan setelahnya. Dengan mengubah sistem ejaan, rezim Orde Baru sengaja membuat generasi muda meninggalkan bacaan lama karena akan sulit dipahami sehingga layak diabaikan.

Penggunaan EYD dan penetapan bahasa Indonesia yang baik dan benar disebutnya merupakan “…rekayasa bahasa yang dilantjarkan oleh orde bau… tidak lebih dari tjara rezim otoriter ini menguasai bahasa (dan dengan demikian begitu pikiran) rakjat Indonesia.”

Maksud jahat yang kedua relatif mudah dipahami. EYD memang telah menciptakan jarak antara anak-anak muda dengan bacaan lama.

Saya sendiri mengalaminya. Ketika saya membaca Madilog karya Tan Malaka atau Lajar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana kendala bahasa terasa amat nyata. Ejaan lama yang digunakan dalam dua buku itu membuat generasi yang lahir setelah EYD seperti saya kesulitan memahaminya dengan leluasa. Kendala bahasa itulah yang membuat saya tak pernah berhasil menyelesaikan buku itu hingga tuntas. Itu juga terjadi juga ketika saya membaca naskah-naskah Soekarno.

Dengan demikian, EYD telah memutus kemungkinkan dialog antara (generasi) saya dengan tokoh-tokoh yang menulis sebelum EYD diberlakukan.

Perlu Penjelasan Lebih

Namun demikian, saya merasa Joss tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang bagaimana EYD telah membatasi kreativitas berbahasa. Apakah karena konsep “bahasa yang baik dan benar” telah menciptakan kebenaran tunggal berbahasa atau karena sebab lainnya?

Kampanye “berbahasa yang baik dan benar” mungkin saja telah membuat banyak ekspresi berbahasa di luarnya menjadi kurang berkembang. Tapi untuk menyatakan kalau konsep itu telah mengurangi kreativitas berbahasa diperlukan penjelasan yang lebih mendalam.

Agar simpulan itu terasa maksud akal, penjelasan harus diberikan setidak-tidaknya dalam tiga aspek. Pertama, kognitif. Apakah standar tunggal bahasa yang baik dan benar telah berdampak terhadap cara kerja otak dalam menjadikan bahasa sebagai sarana berpikir?

Sebagai ilmuwan politik, Benedict Anderson mungkin saja kurang minat dengan penjelasan yang bersifat neurologis. Namun penjelasan pengaruh kognitif bahasa harus diberikan agar dalil bahwa kebijakan bahasa Orde Baru telah mengurangi kreativitas berbahasa. Ini karena kreativitas selalu berkaitan dengan pikiran.

Kedua, penjelasan afektif. Sepanjang bab kedua dan ketiga (yang mengulas pandangan Ben Anderson tentang kebijakan bahasa Orde Baru) Joss tidak memberikan penjelasan dampak afektif kebijakan bahasa.

Afeksi berkaitan dengan perasaan seperti takut, bangga, senang dan sebagainya. Apakah berkurangnya kreativitas berbahasa akibat politik bahasa Orde Baru melibatkan teknologi tertentu untuk merekayasa afeksi penutur? Sisi ini juga belum dieksplorasi menjadi penjelasan yang meyakinkan.

Ketiga, aspek konatif. Aspek ini berkaitan dengan kemauan atau keinginan penutur bahasa Indonesia. Sikap penutur bahasa untuk menerima atau menolak kebijakan bahasa Orde Baru tidak dipaparkan.

Sikap Benedict Anderson dan Joss sendiri untuk menolak penggunaan EYD merupakan contoh menarik. Namun kenapa penolakan serupa tidak dilakukan (atau setidaknya dijelaskan dalam buku ini) pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh lain yang bahkan memiliki keberanian berseberangan sikap dengan Orde Baru?

Ketiadaan penjelasan ini membuat hipotesis bahwa politik bahasa Orde Baru telah mengurangi kreativitas berbahasa penutur menjadi kurang meyakinkan.

Biografi Pemikiran

Meski demikian, buku Maksud Politik Jahat ini memberi wawasan yang luas tantang kiprah Benedict Anderson. Kiprah itu terbentang dari perannya sebagai peneliti politik Asia Tenggara hingga penerjemah karya sastra.

Bagi pembaca pemula seperti saya, buku ini merupakan pintu pembuka untuk menjelajahi karya-karya Anderson lain.

Uraian detail dan ulasan Joss tentang karya-karya Anderson  membuat buku ini layak disebut sebagai “pengantar biografi pemikiran” dari Cornell University tersebut. Joss memang tidak bermaksud menulis buku semacam itu. Tapi dengan pengalaman bergaul secara langsung dan data yang dimilikinya, Joss bisa mengembangkan buku ke arah itu.

Buku demikian kelak akan menjadi buku penting karena pemikiran Anderson, terutama tentang nasionalisme, tampaknya diterima semakin luas. Selain itu, peristiwa selalu berkaitan dengan pemikiran yang memungkinkannya. Oleh karena itu, biografi pemikiran adalah sisi tak terpisahkan dalam keping mata uang perjalanan hidup seseorang.

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending