Connect with us

TIDAK ada ruang yang kegaduhannya melebihi media sosial seperti Facebook. Di sana perdebatan berlangsung dalam hitungan detik, berlangsung tanpa henti, saban hari. Topik apa pun, mulai politik, ekonomi, agama, hingga senggama jadi bahan perdebatan. Akibatnya: gaduh luar biasa.

Hilangnya sekat, menurut saya, adalah penyebab utama kegaduhan di media sosial. Batas ruang satu dengan lainnya semakin samar, kabur, bahkan hilang. Dalam ruang seperti itu, pertemuan lintas entitas tak terhindarkan sehingga terjadi social crash (tabrakan sosial).
 
Di Facebook, orang-orang dari berbagai latar belakang bisa terhubung. Konservatif berteman dengan moderat dan liberal. Islam bersahabat dengan Katolik. Pemabuk berjumpa guru agama. Orang miskin kota bisa pula jumpa kelas menengah hedonis yang tak tahu diri.
 
Keterhubungan di Facebook tidak cuma terjalin melalui pertemanan. Ada grup yang anggotanya ratusan ribu orang. Ada fasilitas “mengikuti”. Juga ada fasilitas “berbagi” yang membuat kiriman dari satu orang bisa sampai di beranda orang yang sama sekali belum pernah ia dengar kabarnya.
Pertemuan-pertemuan semacam itu mustahil terjadi secara fisik karena keterbatasan ruang dan waktu. Secara fisik orang menjalin hubungan dengan cara lama: domba berkumpul dengan domba, harimau berkumpul dengan harimau. Guru berjumpa dosen di ruang seminar. Pedagang bertemu makelar di pasar.
 
Dalam pergaulan yang relatif homogen, frekuansi keyakinan dan pengetahuan relatif sama. Guru dan dosen bicara tentang cara mendidik yang baik. Peternak sapi dan blantik bicara tentang harga daging yang naik. Meski keyakinan dan pengetahuan mereka tetaplah unik dan berbeda, mereka hidup dalam ruang sosial yang jelas aturan mainnya.
 
Dalam ruang sosial pendidikan, misalnya, aturan moral menempati porsi utama. Guru dan dosen yang bertemu berusaha mematuhi aturan itu. ketika saling jumpa, aturan itu mengikat keduanya. Kalaupun harus terlibat perdebatan, mereka berdebat dengan “standar” nilai yang sama.
 
Dalam ruang sosial bisnis, aturannya lain lagi. Di ruang ini keuntungan finansial menjadi tujuan bersama. Petani, makelar, dan calon pembeli berbicara dengan aturan main yang telah disepekati – meskipun tidak selalu disadari. Dalam ruang seperti ini, orang berusaha saling menghormati. Kalaupun terlibat tawar-menawar yang sengit, ada etika bersama: mengambil untung tanpa harus membuat pihak lain merugi.
 
Keteraturan demikian tidak ada dalam media sosial. Kerumunan di Facebook seperti warga bumi yang dikirim secara acak dan massal ke planet lain. Pola keterhubungannya berantakan atau bahkan tidak berpola sama sekali. Si konservatif dan liberal bisa tiba-tiba duduk satu “meja”. Pelacur dan santri berbincang di “warung kopi”. Pebisnis dan pertapa berjumpa begitu saja.
 
Di satu sisi, perjumpaan yang random seperti ini indah karena menghadirkan kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas. Persahabatan kian luas, informasi lebih mudah terdistribusi, dan keterikatan sosial semakin kental.
 
Tetapi, di tengah lalu lintas gagasan yang overheterogen seperti itu, tabrakan sosial tak bisa dihindarkan. Seperti becak, kereta api, bus, tank tempur, dan pesawat yang berjalan dalam satu lintasan: tabrakan tak terhindarkan. Pengendara becak menghardik masinis kereta karena gerbongnya terlalu besar. Pengendara bus menghardik pesepeda karena terlalu lamban lajunya. Pilot memaki pengendara tank karena menghalangi ruang lepas landasnya.
 
Analogi di atas – sebagaimana analogi pada umumnya – mungkin biasa dan tak tepat-tepat amat. Tetapi, memang itulah yang terjadi, setidaknya yang saya rasakan selama tujuh tahun menjadi warga Facebook
 
Ada ustaz yang menganjurkan umatnya sedekah sebanyak-banyaknya. Anjuran uztaz ini mungkin ditulis khusus untuk umatnya, yaitu kelompok internal yang dengan proses sosial tertentu telah bersepaham bahwa sedekah memang niscaya. Tetapi karena anjuran itu ada di Facebook, dlihat oleh pebisnis yang frekuensi pengtahuan dan tata nilainya berbeda dengan si ustaz, si pebisnis menertawakan ustaz dan menuduhnya sedang memperdaya.
 
Ada pegawai rendah yang selalu patuh kepada bisnya agar bisa tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Niatnya sederhana dan mulia: berbahagia bersama keluarga yang dicintainya. Tetapi karena sikapnya itu ditulis di Facebook, akhirnya dibaca oleh aktivis megalomania yang menginginkan dunia harus sama seperti keinggiannya. Aktivis idealis megaloman lalu menuduh si pekerja munafik, oportunis, dan manusia tak berguna.
 
Ada orang yang sedang belajar menulis bahasa Inggris dan memberanikan diri menggunakannya meski berantakan dan terbata. Tulisannya terpublikasi lalu dibaca orang yang kemahiran menulisnya sudah bintang lima. Tulisan orang yang sedang belajar dikatakan konyol dan memalukan.
 
Selain tiga contoh itu, ada begitu banyak pertengkaran di Facebook yang disebabkan karena ketidakhadiran ruang. Semua orang bisa saling intip, saling melihat, saling menghina, dan saling menista. Kondisi demikian diperparah oleh kepribadian narsistik yang diidap oleh sebagian besar media sosial. Pengidap kepribadian narsistik tak malu mendaku dirinya mulia.
 
Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending