Connect with us

SETIAP penutur bahasa selalu berusaha menggunakan bahasa secara efektif untuk mencapai tujuan bertuturnya.  Itu tabiat umum yang dimiliki oleh setiap penutur. Mereka berusaha menemukan format ungkap baru dengan menerabas aturan-aturan lama. Kecenderungan inilah yang membuat variasi bahasa terus bertambah.

Para politisi adalah bagian dari penutur bahasa. Mereka memiliki karakter yang umum dimiliki penutur bahasa lain. Yang membuatnya berbeda: mereka berwacana pada dunia politik. Dengan begitu, selain memiliki ciri umum sebagai penutur bahasa, mereka juga memiliki ciri khusus.

Dilihat dari posisi sosialnya, politisi adalah masyarakat kelas atas. Dalam terminologi sosiolinguistik, bahasa kelas atas disebut akrolek. Elit lazimnya menggunakan bahasa secara hati-hati, tersamar, dan sebisa mungkin menghindari konflik. Kekayaan, status sosial, dan reputasi adalah yang amat berharga bagi mereka. Semua itu perlu dijaga, tidak mudah dipertaruhkan dalam konflik.

Di sisi lain, dalam perebutan kekuasaan, politisi senantiasa terlibat konflik. Koalisi pemerintah senantiasa berhada-hadapan dengan koalisi oposisi. Cara mereka melihat sesuatu bisa berbeda sama sekali.

Dua tarikan inilah yang membuat politisi menjadikan puisi sebagai alternatif ekspresi. Dengan puisis, mereka  ingin mempertahankan idenitas sebagai masyarakat kelas atas yang anggun dan elegan. Di sisi lain, mereka juga bisa meraih keuntungan ketika terlibat perebutan kekuasaan.

Puisi dipilih karena dapat mengakomodasi dua hal itu. Reputasi baik puisi sebagai karya sastra yang indah dan adiluhung dimanfaatkan, “ditunggi”, agar penuturnya bisa mempertahankan citra sebagai elit. Tapi pada saat yang bersamaan: mereka bisa melakukan tindak pragmatik yang menguntungkan.

Dualisme itu dapat ditelusuri pada penggunaan morfem “kau” atau “-mu” dalam puisi-puisi politik belakangan ini. Mari lihat jumlah dua kata itu pada puisi Sajak Sang Penista yang dianggit “penyair kesayangan Anda”, Fadli Zon.

Sajak Sang Penista

di tengah damai Jakarta
kau pamerkan keangkuhan sempurna
sumpah serapah intimidasi
mengalir sederas air banjir
lalu kau cibir orang-orang pinggir
menggusur tanpa basa basi
menindas dengan tangan besi
dan kau seenaknya korupsi
dari rumah sakit hingga reklamasi
memenuhi nafsu ambisi

di tengah damai Jakarta
kau nista ayat-ayat Tuhan
Al Qur’an dituduh alat kebohongan
kaulah yang merobek kebhinekaan
juara pengkhianat Pancasila
pemecah belah kerukunan beragama
biang segala adu domba

di tengah damai Jakarta
kau fitnah lagi kyai dan ulama
serbuan berita palsu hasutan gila
ancaman teror fisik hingga penjara
kau bagai diktator pemilik dunia
menyebar resah ke segala arah
menggalang lautan amarah

kami tahu kau hanya pion berlagak jagoan
di belakangmu pasukan hantu gentayangan
tangan-tangan kotor penguasa komplotan
konspirasi barisan kejahatan
hukum mudah kau beli murah
keadilan punah habis dijarah
demokrasi dikebiri sudah
peluru muntah berhamburan
provokasi pesta kerusuhan

tapi ingatlah sang penista
takdir pasti kan tiba
rakyat bersatu tak bisa dikalahkan
doa ulama kobarkan keberanian
umat yang terhina berjihad kebenaran
orang-orang miskin membangun perlawanan
dan tirani pasti tumbang

di tengah damai Jakarta
kaulah penabur benih bencana

Jakarta, 2 Februari 2017

Ada sepuluh morfem “kau” pada puisi sepanjang 6 bait itu. Sebarannya, hampir pada setiap paragraf ada satu morfem “kau” yang digunakan.  Kita akan bahas, mengapa “kau” hadir begitu sering.

Pada kesempatan lain, Fadli Zon menciptakan “Sajak Tukang Gusur”.

Sajak Tukang Gusur

Tukang gusur tukang gusur
menggusur orang-orang miskin di kampung-kampung hunian puluhan tahun di pinggir dan bantaran kali Ciliwung.

Di rumah-rumah nelayan Jakarta di dekat apartemen mewah dan mall yang gagah semua digusur sampai hancur.

Tukang gusur tukang gusur melebur orang-orang miskin melumat mimpi-mimpi masa depan membunuh cita-cita dan harapan anak-anak kehilangan sekolah bapak-bapaknya dipaksa menganggur ibu-ibu kehabisan air mata.

Tukang gusur menebar ketakutan di ibu kota. Gayanya pongah bagai penjajah caci maki kanan kiri mulutnya srigala penguasa, segala kotoran muntah.

Kawan-kawannya konglomerat, centengnya oknum aparat meneror kehidupan rakyat ibu kota katanya semakin indah.

Orang-orang miskin digusur pindah gedung-gedung semakin cantik menjulang orang-orang miskin digusur hilang.

Tukang gusur, tukang gusur sampai kapan kau duduk di sana menindas kaum dhuafa. Tukang gusur tukang gusur suatu masa kau menerima karma pasti digusur oleh rakyat Jakarta.

Pada puisi di atas, morfem “kau” hanya disebutkan dua kali yaitu pada bait terakhir. Tetapi “kau” di bait terakhir ini ternyata berfungi sebagai anafora untuk teks yang disebutkan berulang kali pada bait-bait sebelumnya: tukang gusur.  Dengan begitu, subjek yang di-“kau”-kan dalam sajak ini berjumlah 8.

Mari lihat puisi Ibu Indonesia yang dibacakan Sukmawati Soekarnoputri. Serupa dengan puisi Fadli Zon, dalam struktur teks puisi tersebut juga digunakan pronomina orang kedua dengan cukup sering.

 

Ibu Indonesia

 

Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka

Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan

Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing

Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif

Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Illahi

Nafas doanya berpadu cipta

 

Ada lima kata ganti “mu” pada puisi di atas. Seperti sedang berkhotbah, penulis puisi ini menyebut “mu” secara bergantian dengan “ku”.

Tentu bukan sebuah kebetulan jika pusi Gus Mus yang dibacakan Ganjar Pranowo beberapa waktu lalu adalah  puisi yang berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana”. Puisi itu menggunakan “kau” hampir pada setiap baris. Puisi itu, dalam analisis saya, dipilih karena mewakili kehendak psikologis Ganjar untuk menyatakan diri di mana “aku” dan di mana “kau”.

Secara tekstual, puisi itu menjadikan “aku” sebagai subjek kecil tertindas sementara “kau” sebagai kekuatan besar yang cenderung penindas, bodoh, dan sembrono. Ganjar memanfaatkan “suasana batin” puisi itu untuk menyatakan bahwa “aku Ganjar” adalah “aku puisi” dan “kau puisi” hendak diarahka maknanya ke lawan politiknya.

Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka
Tapi kau memilihkan untukku segalanya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku berfkir
Aku berfikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana
Kau suruh aku bergerak
Aku bergerak kau waspadai

Kau bilang jangan banyak tingkah
Aku diam saja kau tuduh aku apatis

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip
Aku memegang prinsip
Kau tuduh aku kaku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku toleran
Aku toleran kau tuduh aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Kau suruh aku bekerja
Aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa
Tapi khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa

Kau suruh aku mengikutimu
Langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum
Kebijaksanaanmu menyepelekannya

Aku kau suruh berdisiplin
Kau mencontohkan yang lain

Kau bilang Tuhan sangat dekat
Kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat

Kau bilang kau suka damai
Kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun
Aku membangun kau merusakkannya

Aku kau suruh menabung
Aku menabung kau menghabiskannya

Kau suruh aku menggarap sawah
Sawahku kau tanami rumah-rumah

Kau bilang aku harus punya rumah
Aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi
permainan spekulasimu menjadi-jadi

Aku kau suruh bertanggungjawab
kau sendiri terus berucap Wallahu Alam Bis Showab

Kau ini bagaimana..
Aku kau suruh jujur
Aku jujur kau tipu aku

Kau suruh aku sabar
Aku sabar kau injak tengkukku

Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku
Sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu

Kau bilang kau selalu memikirkanku
Aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana..
Kau bilang bicaralah
Aku bicara kau bilang aku ceriwis

Kau bilang kritiklah
Aku kritik kau marah

Kau bilang carikan alternatifnya
Aku kasih alternative kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau
Kau tak mau

Aku bilang terserah kita
Kau tak suka

Aku bilang terserah aku
Kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana

Mengapa “kau” dan “mu” merupakan unsur penting dalam tiga puisi di atas?  Kata ganti orang kedua  itu menandai adanya kehendak dari penyair atau pembaca puisi untuk menghadirkan sosok lain sebagai liyan. “Kau” dan “mu” merupakan subjek yang dipersepsi berlainan dan bersebarangan dengan “aku” sebagai penulis (meski aku tidak selalu muncul secara tekstual).

“Kau” dan “mu” menjadi bermakna karena dunia politik yang menjadi “rahim” lahirnya puisi tersebut memerlukan imaji keterpisahan. Para politisi (yang mendadak jadi penyair itu) hendak mengonstruksi kesadaran publik bahwa yang “kau” atau “mu” adalah sesuatu yang buruk, bodoh, atau jahat. Secara pragmatik, dengan sendirinya, “kau” dan “mu” hendak menghadirkan pengakuan bahwa yang “aku” adalah yang sebaliknya: baik dan indah.

Sikap pragmatik itu menjadi penting karena politik memang membutuhkan imaji semacam itu.Imaji itu, jika dikelola dengan baik, tentu bisa dikonversi menjadi keuntungan politik tertentu, seperti kebepihakan bahkan dukungan elektoral.

Tujuan praktis ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa “puisi politik” didesain memang untuk tujuan jangka pandek yang praktis. Ini tentu saja berbeda dengan puisi-puisi para maestro yang tumbuh dari renungan reflektif si penyir. Renungan itu dimonumenkan dengan kata-kata sehingga melahirkan semangat melakukan kebajikan, pencerahan, dan perbaikan sosial di masyarakat.

Mengenai puisi, ada dua pandangan yang hendak mendudukkan kedudukan sosiologisnya. Ada yang hendak mendudukan puisi semata-mata sebagai karya seni. Namun pandangan yang lebih populer mendudukkan puisi sebagai produk sosial, produk budaya, yang juga memiliki pengaruh kuat terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat.

Melalui Departemen Penerangan, Orde Baru pernah menegur sebuah perusahaan advertising karena menggunakan potongan puisi “Anakmu Bukan Anakmu” katya Kahlil Gibran.

….

Anakmu bukan anakmu
Mereka adalah anak dari kehidupan yang ingin menjadi diri mereka sendiri
Mereka datang melaluimu, tapi bukan darimu
Dan meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu

….

Pemerintah berpandangan bahwa puisi itu merupakan ekspresi paham liberal, hendak mendudukkan pribadi (anak_) sebagai pribadi yang bebas merdeka, lepas dari ikatan batin dan sosial dengan orang tuanya. Padahal pada masa itu, keluarga merupakan metafora yang penting bagi pemerintah. Soeharto sendiri tampak ingin mendudukkan diri sebagai “bapak” bagi rakyat. Potongan puisi Kahlil Gibran itu dianggap bertentangan dengan semangat “zaman” pada masa itu.

***

Penyair-penyair – sebutlah nama legenderis ini: Chairil Anwar – menggunakan kata-kata sebagai refleksi atas getirnya kehidupan. Meski kerap terlalu eksistensial lantaran subjek “aku” terlalu sering hadir, ia menjadi “aku” sebagai bagian dari persoalan yang lebih luas. Pada puisi “Aku Berkaca”, ia menggunakan “aku” sebagai diri yang linglung.  Sifa “aku” dalam puisi tersebut agaknya hendakdijadikan pars pro toto bagi kebanyakan manusia lain yang memang linglung memandang dunia.

Aku Berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Ku dengar seru menderu
Dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?

Lagi lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah..!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak ku kenal..!!!
Selamat tinggal…!!

“Sajak Sebatang Lisong” karya WS Rendra menggunakan “aku” sebagai diri yang mewakili banyak orang. Aku hadir bukan sebagai tokoh yang heroik, tetapi sebagai “lidah” bagi kebanyakan orang. dengan menggunakan “aku” ia menggambarkan diri sebagai diri yang bingung melihat pendidikan tidak memberikan banyak faedah bagi kebanyakan orang. Sebaliknya, pendidikan justru membuat banyak orang terasing dari lingkungannya.

Sebagai sebah strategi bertutur, puisi telah lama dipersepsi sebagai ekspresi estetik kelompok cendekiawan. Persepsi itu hendak dimanfaatkan politisi untuk membangun kesadaran bahwa diri dan pesan yang dibawakannya adalah pesan yang agung.

Dulu Seno Gumira Ajidarma membuat adagium yang indah: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Fatwa itu berkaitan dengan peristiwa pembantaian di Dili yang menjadi objek liputannya. Saat itu, ratusan (?) orang Timor Timur meninggal dalam sebuah peristiwa kekerasan yang melibatkan tentara nasional Indonesia.

Adagium itu menempatkan “sastra” setara dengan “jurnalisme” sebagai saluran mengungkapkan kebenaran. Meski memiliki unsur yang berbeda, keduanya dianggap bisa menyuarakan kebenaran. Kebenaran jurnalisme ditegakkan pada verivikasi fakta. Adapun kebenaran sastra dilekatakkan pada kepekaan nurani.

Dalam sejumlah aspek, sastra bahkan lebih unggul. Pertama, sastra tidak membutuhkan pembuktikan faktual. Kedua, sastra adalah ekspresi estetik yang telah lama diakui sebagai fiksi sehingga tidak perlu dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan memanfaatkan sastra, orang bisa menyampaikan kebenaran sekaligus bisa menghindari risiko hukum yang mungkin menghadangnya.

Di bawah pemerintahan yang otoriter, pilihan Seno Gumira Ajidarma patut dianggap cerdik. Dengan sastra, ia bisa melawan kekuatan pemerintah otoriter sekaligus menghindari serangan balik yang mungkin mendatanginya. Namun dalam suasana demokratis seperti ini, penggunaan puisi untuk menyerang menggambarkan keengganan untuk bertanggung jawab.

Di satu sisi, politisi bisa melakukan karya-karya propaganda yang memungkinkan proses peyorasi pada lawan politiknya. Tetapi di sisi lain, dia ogah mempertanggungjawabkan isi pesannya. Dalihnya: ini karya sastra, tidak bisa dituntut dengan hukum.

Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang,
penulis buku Politik Bahasa Penguasa

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending