Connect with us

Pendidikan

Pedagangan Anak Perempuan di Semarang

Published

on

PERDAGANGAN anak perempuan telah mendapat perhatian besar pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Di tingkat internasional, PBB juga mempelopori beberapa konvensi. Tapi praktik itu ternyata terus terjadi, termasuk di Semarang. Modusnya beragam. Ada yang dijerumuskan keluarga dan tetangga, ada pula yang dijebak oleh pacar.

Menurut Suyanto, dalam Perdagangan Anak Perempuan (2002), korban perdagangan anak perempuan di Semarang berasal dari berbagai daerah. Sebagian besar memang dari Semarang, namun ada pula yang dari Kendal, Demak, dan Wonosobo. Sejumlah korban bahkan ada yang dari Ponorogo dan Pelembang.

Anissa, bukan nama sebenarnya, berasal dari Ponorogo. Ia mengaku, terjun menjadi pekerja seksual karena dijerumsukan bulik. Awalnya ia diajak bekerja sebagai pembantu rumah makan, tapi justru dijerumsukan di sebuah lokalisasi di Semarang.

“Keperawanan saya dijual satu juta rupiah pada alki-laki agak tua di sebuah hotel yang saya tidak tahu namanya. Dari uang itu saya Cuma kebagian dua ratus ribu,” aku perempuan yang hanya lulus MTs itu. Saat itu usianya masih 16 tahun.

Anissa berasal dari kelaurga broken di Ponorogo. Kedua orang tuanya bercerai ketika ia masih belia. Dia kemudian ikut budhe-nya di Magetan. Setelah lulus dari MTs ia tidak bisa melanjutkan sekolah karena budhe-nya tidak punya biaya.

Nasib serupa dialami Shinta, bukan nama sebenarnya, yang berasal dari Wonosobo. Perempuan yang hanya lulus SD mengaku dijerumsukan ke dunia pelacuran oleh tetangga. Ia mengaku tertipu. Awalnya, tetangga yang kemudian ia ketahui bekerja di sebauha lokalisasi, menjanjikan akan memperkerjakannya sebagai pelayan toko.

Shinta sebenarnya berasal dari keluarga reigius. Masa awal tingal di lokalisasi ia bahkan sering menangis. Namun perangainya berubah sejak menjalani profesi sebagai pekerja seks komersial. Selain merokok, kini dia juga sering minum-minuman keras. Bahkan, menurut teman Shinta yang tidak mau disebut namanya, sekarang Shinta sering mengeluarkan kata-kata kotor.

Kisah lain dialami Dian, bukan nama sebenarnya, yang berasal dari Kendal. Ia sama sekali tidak pernah berpikir akan terjerumus ke dunia pelacuran. Pacarnya lah yang menjerumuskannya ke dunia hitam. “Pacar saya orang sekampung. Dia sudah lama merantau di Semarang,” katanya.

Dian mengaku menyesal. Bahkan, ia sering menangis menyesali nasibnya. Namun Dian mengaku tidak bisa segera keluar dari lembah hitam itu. Terlebih saat itu keperawanannya sudah diserahkan kepada sang pacar. “Saya juga tidak tahu kenapa dulu mau pacaran dengan orang seperti itu. Sudah pekerjaannya tidak jelas, dia malah menjerumuskan saya di lembah hitam ini,” katanya.

Bekerja sebagai pekerja seks membuat korban perdagangan anak menerima berbagai tindak kekerasan. Tidak hanya fisik, mereka bahkan kerap menerima kekerasan seksual.

Asri, bukan nama sebenarnya, perempuan asal Solo, pernah mengalami kejadian itu. Tamu yang dialayaninya ternyata sedang mabok. “Saya sebenarnya sudah curiga, tapi mau bagimana lagi. Kalau menolak saya takut sama Mami,” kata Asri. Selain mengalami kekerasan fisik, sata itu ia juga tidak dibayar. “Tarif buking sebenarnra 75 ribu, tapi dia cuma punya duit 10 ribu,” lanjutnya.

Hal yang lebih mengerikan pernah dialami Yani, bukan nama sebenarnya. Saat itu usianya baru 17 tahun. Melalui seorang spoir taksi yang telah ia kenal, Yani menerima order wisatawan asal Korea. Kata Yani, wisatawan itu menumpang kapal pesiar dan sedang merpat di Tanjung Emas.

Yani masih ingat, nilai bukingan sata itu sangat besar. 50 dolar untuk semalam. “Saya dan Mami waktu itu seneng banget,” katanya. Namun, justru malapetaka yang ia terima.

Setelah di hotel, wisatawan itu tidak sendirian. Ada beberapa temannya yang sudah menunggu di sana. Setelah melayani wisatawan itu, seorang temannya juga minta dilayani hingga dua kali.

“Setelah itu disusul teman yang ketiga. mainnya kasar banget. Saya sebenarnya sudah ngrasa sakit. Datang lagi orang keempat saya sudah tidak tahan, saya sampai nangis. Malah datang lagi tiga orang bersamaan. Saya berusaha lari tapi tidak karena saya dipegangi dna pintu dikunci,” tuturnya.

Gara-gara kejadian itu Yani sangat trauma. Ia bahkan harus berobat dengan biaya yang lebih besar dari nilai bukingannya. Di kalangan para pekerja seksual, kekerasan seksual seperti ini sering disebut Pangris. Konon, itu akronim dari Jepang Baris, yang paling ditakuti pekerja seks. PortalSemarang.com

 

Baca juga: Melibatkan Jaringan yang Rapi

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Melibatkan Jaringan Rapi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending