Connect with us
Ada tiga atlet yang saya hormati melebihi olahragawan lainnya. Dua pesepak bola: Pele dan Carles Puyol. Satunya seorang petinju: Manny Pacquiao.
 
Belakangan saya sadar, ada satu sifat yang membuat mereka sama-sama menyita perhatian saya. Sifat itu adalah: determinasi tinggi.
 
Sederhananya, determinasi itu ketetapan hati untuk meraih tujuan tertentu. Itu definisi versi KBBI. Kalau diparafrasekan, determinasi itu kemauan untuk mendayagunakan segala daya untuk mencapai tujuannya. Kurang lebih begitu.
 
Cara Pele memainkan bola sudah menggambarkan determinasinya. Di atas rata-rata. Ketika ia mengontrol bola, ada kesungguhan luar biasa untuk melesakkannya ke gawang lawan.
 
Sebagai pemain bertahan, Puyol sebaliknya. Baginya, gawang timnya adalah kedaulatan. Keramat. Harus dilindungi sekuat tenaga.
 
Karena itu, kalau ada tim lawan yang coba mengusiknya, dia sekuat tenaga mengusirnya.
 
Tidak satu dua kali. Tidak sepuluh dua puluh kali. Sebagai pemain profesional senior Puyol mungkin ratusan kali melakukan penyelamatan gemilang.
 
Determinasi itu tampa betul jika timnya, Barcelona, menghadapi musuh bebuyutan: Real Madrid.
 
Saat pemain lawan coba membobol gawang, El Capita berusaha dengan sekuat tenaga. Dia menghalau bola dengan kakinya, dengan dadanya, dengan kepalanya. Dengan berbagai cara, dengan berbagai posisi.
 
Pacquiao punya determinasi yang sama. Tanpa ketetapan hati, tak bakal pemuda miskin dari Kibawe itu memasuki gemerlap MGM Arena.
 
Kekaguman saya pada atlet-atlet dengan determinasi tinggi membuat saya juga mengagumi kawan-kawan dengan karakter serupa.
 
Banyak orang begitu di sekitar saya. Tapi yang utama dalam meneladankan sifat itu adalah ayah saya.
 
Beliau seorang petani. Beliau mencintai pekerjaannya. Beliau melakukan pekerjaan itu lebih dari petani mana pun yang saya kenal.
 
Karena itulah, dalam batas-batas tertentu beliau sukses melampui petani lainnya. Meski tidak kaya, keluarga saya realtif berkecukupan karena beliau.
 
Sayangnya, saya tak mewarisi karakter itu. Banyak malesnya.
 
Sampai di sini, saya bertanya-tanya: dari mana datangnya determinasi itu? Apakah ia watak personal atau karakter kolektif yang dimiliki masyarakat tertentu?
 
Untuk menjawab itu, sebuah eksperimen pernah dilakukan terhadap anak-anak. Malcolm Gladwell mengisahknya dalam buku Outlier yang keren itu.
 
Ada soal matematika sulit diberikan kepada anak-anak. Soal diberikan kepada anak “asli” Amerika dan beretnis China.
 
Dua kelompok anak ini sama-sama tidak bisa mengerjakan. Mungkin memang terlalu sulit untuk usia mereka.
 
Tapi, anak-anak Amerika lebih mudah menyerah. Adapun anak-anak beretnis Tionghoa berusaha lebih keras. Meski gagal, mereka mencoba terus. Total waktu yang dihabiskan sampai akhirnya mereka nyerah lebih lama dari yang dihabiskan anak-anak Amerika.
 
Eksperimen itu yang membuat peneliti – sejauh ini – menyimpulkan: determinasi itu soal pewarisan. Soal budaya. Meski tak bisa nafikan faktor lainnya.
 
Anak-anak beretnis China yang menjadi subjek eskperimen berasal dari daerah Selatan. Daerah yang punya sejarah panjang sebagai daerah pertanian.
 
Kata Gladwell, pertanian adalah salah satu bidang yang amat menuntut kerja kognitif. Di bidang ini, ada korelasi langsung antara upaya dan penghargaan.
 

Kalau ogah-ogahan, tanaman bakal mati. Petani merugi. Kalau rajin, panen sukses. Hidup jadi lebih muda.

Untuk jadi petani yang sukses, orang harus putar otak sekaligus tak gampang menyerah.

 
Korelasi itulah yang membuat anak-anak dengan leluhur petani punya determasi lebih tinggi. Mereka mewarisi sifat leluhurnya yang giat berusaha. Sekuat tenaga.
 
Sejauh ini, eksperimen itu dapat menjelaskan kenapa anak-anak China jauh melampaui prestasi anak-anak Amerika. Khususnya dalam bidang matematika.
 
Untuk handal di bidang matematika, cerdas saja tak cukup. Determani juga penting.Mungkin lebih penting malah.
 
Determinasi jadi faktor penentu saat anak-anak menemukan soal sulit. Berapa lama mereka bertahan mencoba berbagai kemungkinan pemecahan, itu yang lebih utama.
 
Lalu, bagaimana anak-anak (di) Jawa?
Apa warisan sifat yang diperoleh dari leluhurnya?
Alon-alon asal kelakon?
Atau: aku mundur alon-alon, merga ngerti aku sapa?
 
Salam,
Rahmat Petuguran
Pantang menyerah sebelum lunas.
 
Gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Agriculture_in_China

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending