Connect with us

Sam Ellis merasa karier politiknya akan segera berakhir ketika petualangan seksualnya diketahui wartawan. Ikhtar panjangnya akan sia-sia jika wartawan itu menerbitkan berita tentang “petualangannya”. Prestasinya sebagai pengacara handal, gagasannya yang visioner, juga rekam jejaknya yang cemerlang akan hilang begitu saja. Publik akan menilainya sebagai pribadi yang cacat, dan tentu saja: tak layak memimpin.

Itulah salah satu konflik dalam film Zipper, salah satu film political thriller terbaik yang pernah saya tonton. Film itu mengingatkan saya kepada Rhoma Irama. Ketika mengutarakan niat akan maju sebagai calon presiden pada 2012, dia langsung dihabisi oleh lawan politiknya. Raja dangdut itu diserang dengan isu kawin-cerai, sesuatu yang dekat dengan seksualitas. Ambisi politik Rhoma tersendat karena biografi sekualnya.

Nyatanya, politik memang tidak hanya menarasikan perebutan kekuasaan. Politik juga membentangkan cerita seksual. Soekarno, misalnya, hampir sepanjang hidupnya tak bisa melepas stigma playboy. “Prestasi” menikahi 11 perempuan sekaligus menjadi aib bagi Seokarno. Ini kondisi yang lumrah karena di negeri ini seksualitas menjadi wilayah yang rawan, selalu dipersengkatan antara wilayah moral, spiritual, medis, dan tentu yuridis.

Ketertarikan publik terhadap biografi seksual tokoh memacu penelusuran sejarah seks dan seksualitas secara besar-besaran. Parkemen dan liputan seks yang tertuang dalam berbagai catatan dibongkar. Tidak sedikit buku yang mengungkap laku seksual nabi dan Paus diterbitkan. Berkembang semacam keyakinan, membaca laku seksual, secara pars pro toto, juga membaca sikap hidup seseorang.

Di negeri Abang Sam, isu perselinguhan bos CIA David Petraeus ternyata lebih menyita perhatian publik daripada resesi ekonomi yang mengancam ekonomi negara ini. Times menjadikan sang jenderal cover story dua pekan lalu. Meski publik Amerika cenderung tidak rewel menyikapi perilaku seks, perselingkuhan Petreus mau tidak mau terbawa hingga wilayah politik. Itu yang membuat karier cemerlangnya berakhir sekejap.

Affair Bill Clinton dengan Monica Lewinsky lebih dari satu dasawarsa silam juga nyaris menjungkalkan Clinton dari tahta di Gedung Putih. Beruntung, ia dilindungi banyak orang di senat, sehingga ia bisa mengakhiri jabatan presiden dengan khusnul khatimah.

Tema seks jelas bukan barang baru. Sebagai gejala biologis, ia hadir bersama sejarah manusia. Agunghima (2012) mencatat, seksualitas telah tercatat dalam manual kuno berjudul Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius  Naso (43 SM-17 M). Di India kitab Kama Sutra karya Vatsyayana ditaksir hidup pada zaman Gupta (sekitar abad ke-1 6 M) juga mencatat seksualitas dengan sangat rigid. Baru pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, pakar psikoanalisis Austria, Sigmund Freud (1856-1939) mengembangkan teori seksualitas yang didasari studi terhadap para klien.

Manusia Jawa juga meninggalkan parkemen otensitik yang menarasikan persepsi seksualnya, salah satunya melalui Serat Centini atau Suluk Tembangraras. Serat digubah sekitar 1815 oleh tiga pujangga istana Keraton Surakarta, yakni Yasadipura II, Ranggasutrasna, dan RNg Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar), atas perintah KGPAA Amengkunegara II atau Paku Buwana V. Serat Centhini yang terdiri atas 722 suluk atau tembang antara lain bicara soal seks dan seksualitas.

Agama, Moral, Negara

Penelusuran terhadap biografi seksual seseorang sejatinya penelusuran terhadap keyakinan hidup (ageman) tokoh bersangkutan. Sebab, perilaku seksual seseorang hampir selalu menggambarkan jangkauan batin. Seks menggambarkan tradisi berpikir yang langgeng dan diyakini. Di sana aneka kepentingan dan nilai bersengketa; agama, moral, dan tentu saja: negara.

Dalam ajaran Hindu, terdapat konsep lingga dan yoni. Lingga disimbolkan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin pria dan yoni mewakili alat kelamin wanita. Keseimbangan hidup digambarkan jika lingga dan yoni menyatu. Kemapanan spiritual, salah satunya, bisa dicapai dengan menempuh hubungan seksual yang baik dan penuh kasih.

Dalam keyakinan Hindu, ada konsep mengenai Chakra, Karma dan Kundalini. Chakra adalah organ ruh manusia, Karma adalah narasi alamiah tentang sebab-akibat, adapun Kundalini kekuatan terpendam dalam tubuh manusia. Ketiganya adalah dimensi yang terpisah dan baru terhubung jika manusia melakukan ritus lahir dan batin secara benar.

Dipercaya, jika hubungan seks antara pria dan wanita dilakukan dengan cara yang benar atas dasar rasa cinta yang tulus, Chakra seks dari keduanya akan memancarkan aura yang akan menyatu. Dengan penyatuan dua aura chakra seks tersebut, chakra seks dari keduanya akan semakin aktif, dan akan memberikan dampak positif bagi ruh dan tubuh keduanya.

Kitab suci, baik Alkitab, weda, maupun Al-Quran mengatur kehidupan seks manusia dengan sangat cermat. Seks adalah jalan kebaikan jika ditempuh sesuai aturan. Sebaliknya, seks hanya menggambarkan kebrutalan libidal manusia jika diumbar. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang (Ar-Rum: 21).

Di Indonesia, penelusuran terhadap biografi seksual seseorang hampir selalu dilakukan dengan pendekatan etis agama. Kebenaran laku seksual dinilai semata-mata berdasarkan kitab suci. Nilai ini pula yang kemudian diadaptasi negara untuk mengatur kehidupan seksual rakyatnya. Dalam undang-undang perkawinan disebut satu-satunya payung hukum dalam “penyelenggaraan” hubungan seksual adalah perkawinan.

Ajaran agama yang diadaptasi jadi hukum positif inilah yang melegitisimasi aparat, misalnya, melakukan penggerebekan terhadap pasangan di luar nikah atau merazia pekerja seks komersial. Argumen  yuridisnya adalah; hubungan seksual tanpa pernikahan tidak beradab dan “meresahkan masyarakat.”

Meski begitu, sejak 1990-an perspektif feminisme juga memperoleh tempat untuk membaca realitas seksual. Para feminis memandang seksualitas secara kritis, bukan sebagai strategi hidup, melainkan ilsutrasu hubungan perempuan dengan laki-laki. Penolakan konsep poligami oleh para feminis didasari keyakinan bahwa hal itu akan melanggar hak perempuan, termasuk hak seksual.

Tidak Tunggal

Sikap publik terhadap seksualitas dewasa ini dapat dibaca dalam kasus seksual Ariel dan Rhoma Irama. Vokalis Peterpan, pada masa itu, dihujat karena melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan istrinya. Dan, celakanya, terpublikasi. Publik mengecam, memberi sumpah serapah, bahkan meminta pelaku dihukum berat. Kebrutalan seksual Ariel dianggap telah melabrak aturan hukum sekaligus menerabas moralitas.

Raja Dangdut Rhoma Irama dikucilkan, menuai gugatan di media sosial, justru lantaran ia punya sejumlah istri. Padahal, Bang Haji menikahi secara sah istri-istrinya, baik berdasarkan aturan negara maupun agama. Ia juga memenuhi kewajiban sebagai suami. Namun itu tak membuat Bang Haji luput dari berbagai hujatan. Biografi seksualnya disoal bahkan dijadikan alat untuk menjegal niat politiknya menjadi presiden RI melalui pemilu 2014.

Dua kondisi ini menunjukan pembacaan terhadap biografi seksual seseorang tak pernah dilakukan dengan metode tunggal. Ada nilai-nilai yang saling berhimpit. Etika, agama, dan hukum negara bersengketa. Ketiganya memiliki porsi yang berbeda-beda mempengaruhi nalar etis manusia.

Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM
Tulisan pernah dipublikasikan di koran Joglosemar

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending