Connect with us

Di lini masa Facebook saya beberapa hari ini, tak ada perdebatan yang lebih sengit ketimbang pertengkaran Felix Siauw dengan Banser. Dalam pertengkaran itu Felix  seolah-oleh “mewakili” gerbong bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Banser mewakili gerbong besar bernama Nahdlatul Ulama.

Apa yang mereka perdebatkan? Soal pengajian yang gagal digelar di Bangil? Soal Pancasila dan Khilafah? Atau soal lain?

Ketika perdebatan sudah berlangsung, agak sulit menemukan substansi perdebatan. Isi perdebatan kadang tenggelam oleh keriuhan yang disebabkan oleh sentimentalisme identitas. Dalam beberapa kasus, identitas bahkan jadi sumber pertengkaran baru.

Sejumlah ahli menunjukkan bahwa pertengkaran, konflik, dan perang hampir selalui dibumbui sentimentalisme identitas. Identitas membuat individu merasa memiliki keterikatan dengan satu kelompok dan menempatkan diri sebagai liyan (the other) bagi kelompok lain.

Ilusi keterikatan itu melahirkan energi bersekutu dan energi berperang sekaligus. Kesamaan identitas memberi alasan kerja sama, tetapi perbedaan identitas melahirkan alasan melakukan agresi.

Kesalahan paling mendasar dalam persoalan identitas adalah imaji yang menempatkan satu objek (misalnya inividu) memiliki identitas tunggal (Sen, 2006). Banyak orang yang mengimajinasikan bahwa “dalam diri” manusia ada identitas hakiki (Maalouf, 2000). Padahal identitas manusia selalu kompleks dan dinamis. Satu manusia menjalin keterikatan dengan puluhan, ratusan, atau bahkan pada jumlah tak terbatas dengan entitas lain.

Cara paling lazim orang mengidentifikasi diri (dan orang lain) adalah dengan melihat jenis kelaminnya, rasnya, agamanya, sektenya, profesinya. Itulah atribusi-atribusi sosial yang paling mencolok. Kecenderungan itu kerap melahirkan prasangka yang berujung konflik.

Pemisahan berdasarkan jenis kelamin melahirkan prasangka gender. Identifikasi berdasarkan ras melahirkan diskriminasi (lihat sepak terjang KKK di Amrika). Identifikasi berdasarkan agama melahirkan permusuhan (lihat konflik Kristen dan Katolik di Irlandia). Identifikasi berdasarkan sekte pun melahirkan perang (lihat perang Suni dan Syiah di Timur Tengah).

Persoalan paling mendasar dari kekeliruan manusia dalam mengidentifikasi identitas adalah ketidaksadaran bahwa cara mereka mengidentifikasi identitas adalah keliru. Akibatnya, identitas  jadi sumber konflik yang alih-alih dapat diselesaikan, tapi justru dieksploitasi pihak tertentu.

Cara Barat mengidentifikasi Timur (demikian Said, 2010) telah mendorong bangsa-bangsa Eropa melakukan kolonialisasi yang panjang terhadap bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Itu bermula dari cara orang Barat yang (kemudian hari, ketika pengetahuan sosial berkembang) keliru. Barat menganggap Timur sebagai wilayah kedua, sebuah daerah yang eksotis, kaya, dan potensial menjadi penyangga berkembangnya peradaban Barat.

Persoalannya, sistem pengtahuan dan bahasa yang digunakan manusia tak benar-benar bisa lepas dari kecenderungan identitas. Setiap kali pegetahuan dan bahasa bekerja, setiap kali pula manusia berusaha mengidentifikasi diri dan lingkungannya.

Kecenderungan ini diekslorasi dan diekspolitasi karena ada kecenderungan lain yang menunjukkan orang cenderung merasa suka dan diuntungkan jika mendapat identitas tertentu. Orang mrasa mendapat keuntungan sosial, kultural, dan ekonomi jika diidentifikasi sebagai bagian dari sebuah identitas. Makanya, banyak orang berlomba-lomba memerpukukuh identitas dirinya dengan menampilkan identitas tertentu di ruang publik. Supaya mendapat pengakuan.

Ini tercermin dalam perilaku konsumsi budaya: cara orang memilih pakaian, buku yang dibaca, film yang ditonton, jenis konser yang didatangi, dan sebagainya (Heryanto, 2015). Konsumsi budaya menciptakan ekstasi pengakuan yang membuat hampir setiap orang (kecuali orang zuhud) berlomba-lomba untuk terus memperolehnya.

Hari ini kita bisa saksikan ada banyak orang yang rela membelanjakan sebagain besar uangnya untuk beli baju mahal hanya karena ingin mendapat identitas sebagai orang kaya. Ada yang bergaya menulis status ndakik-ndakik di Facebook hanya karena ingin mendapat identitas sebagai intlektual. Ada yang mengkritik apa pun agar ia diidentifikasi sebagai aktivis, pemerhati, dan sebagainya.

Dari uraian itu, saya bisa kemukakan bahwa identitas merupakan sesuatu yang rumit dan kompleks. Pada satu sisi, setiap orang mengalami dorongan sosial untuk membentuk identitas diri. Pada sisi lain, ada penumpang gelap” yang siap memanfaatkan kecenderungan itu untuk meraih keuntungan: politik, ekonomi, kultural.

Apakah permainan identitas pula yang membuat dua entitas Islam di Indonesia – Banser dan HTI, dalam ulasan ini – begolak terus sehingga nyaris gak pernah rukun?

Betulkan dua kelompok itu memperjuangkan gagasan (yang masing-masing nilai sebagai gagasan paling baik) atau hanya sedang memperjuangkan identitasnya? Apakah perdebatan keduanya sudah melampui identitas? Teman-teman yang terlibat atau mengamati gejolak sosial itu, silakan berpendapat. Salam.

Rahmat Petuguran
Identitas: laki-laki setia, sederhana, dan cinta alam/sesama manusia

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending