Connect with us
Seperti ceramahnya di Youtube dan Facebook Gus Yusuf Channel yang biasa saya ikuti, ceramah Gus Yusuf saat halalbihalal Unnes tadi terasa khas.
 
Selain pembawaan yang cool, beliau menjelaskan persoalan dengan bahasa sederhana.
 
Kesederhanaan bahasa beliau bisa dilihat dari tiga aspek: diksi, kalimat, dan struktur wacana.
 
Saya jadi kepo, apakah kesederhaan semacam itu merupakan kekhasan beliau secara personal atau kekhasan kiai pada umumnya?
 
Meskipun ciri-ciri personal tak bisa diabaikan, kesederhanaan berbahasa tampaknya memang ciri umum para kiai.
 
Sebagai sebuah komunitas tutur, para kiai memiliki kesadaran dan ideologi yang mungkin serupa satu sama lain.
 
Kesamaan dalam dua hal itulah yang melahirkan keserupaan karakteristik berbahasa.
 
Dari aspek kesadaran, para kiai (terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama) tampaknya sadar bahwa publik utama yang jadi sasaran dakwahnya adalah masyarakat pedesaan.
 
Agar komunikasi berhasil, tentu saja mereka perlu menyesuaikan diri dengan karakter bahasa calon jamaah.
 
Dalam teori pragmatik, apa yang dilakukan para kiai ini adalah implementasi dari bidal dalam prinsip kerja sama.
 
Bidal cara mengamanatkan agar penutur menggunakan cara yang paling memungkinkan mitra tutur memahami tuturan dengan mudah.
 
Dari aspek ideologi, kesederhanaan bahasa para kiai tampaknya berpangkal pada keyakinan bahwa bagian terpenting dari ilmu adalah amaliahnya.
 
Ideologi itu tercermin dalam ungkapan Gus Yusuf dalam ceramah pagi tadi. Beliau menyitir nasihat para kiai sepuh yang konon berucap “Ilmumu aja nganti ngebak-ngebaki bathuk“.
 
Ini nasihat agar ilmu tidak cuma diingat atau dipahami, tapi yang utama adalah diamalkan.
 
Pandangan ini mungkin sama dengan pandangan orang Jawa: ilmu iku kalakone kanthi laku.
 
Nah, pandangan ideologis itulah yang membuat para kiai cenderung lebih suka menggunakan ungkapan-ungkapan operasional.
 
Beda dengan para alim sekuler (akademisi?) yang suka berkutat di ranah epistemologi, para kyai cenderung bicara di ranah aksiologi.
 
Strategi ini mungkin hanya dipakai di ceramah publik. Saat mereka mengajar fikih, tafsir, akidah, atau mungkin tasawuf kepada para santri, porsi pembahasan ontologi dan epistemologi mungkin lebih besar.
 
Ini implementasi dari ungkapan Jawa lain: empan papan. Juga implementasi dari prinsip kerja sama lain: relevansi.
 
Di titik inilah kearifan gaya komunikasi para kyai benar-benar indah dan layak diteladani.
 
HK Rahmat Petuguran
Hampir kyai
 
Sumber foto: www.nu.or.id

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending