Connect with us

Tokoh

Alex Poerwo, Menyatukan Bela Diri dan Seni

Published

on

AWAL 2002 ALEX POERWO menidurkan jiwa seninya, kemudian memilih menjadi pelatih wushu dan karate. Namun akhirnya lelaki yang bernama asli Puji Winarto ini menemukan korelasi antara seni dengan bela diri yang digelutinya.

Letaknya ada di kata ”seni” itu sendiri. Alex Poerwo sadar bahwa bila antara seni dan bela diri sejatinya telah lama menyatu. Namun jarang orang awam meninggalkan sisi seni (yang abstrak dan mengalir), dan lebih menjadikan bela diri sebagai sisi pokok.

”Saya menyadari ada benang merah di antara keduanya. Berawal dari rasa rindu untuk berekspresi seni itulah saya kemudian melahirkan Martial Performance Art (MPA),” kata Alex Poerwo, Senin (13/6).

MPA, lanjut pemilik Training Centre (TC) Wushu Naga Kembar dan dojo Bushido ini merupakan pengikatan antara seni bela diri dengan seni teater. Penggabungan dari dua mata sisi yang berbeda tersebut merupakan karya seni yang ingin Alex Poerwo kenalkan sekembalinya ke dunia teatrikal.

”Tidak hanya kepada orang lokal, tapi juga kepada dunia internasional. Namun pada intinya saya ingin mengajarkan anak-anak ilmu bela diri tentang pengendalian diri dan emosi,” ujarnya.

Ternyata tidak hanya diterima anak wushu dan karate, tapi anak-anak dari cabang bela diri lain seperti tinju, taolu, dan sanshou ikut bergabung. Olahraga yang identik dengan kekerasan fisik tersebut disatukan dengan seni puisi, monolog, tari, bahkan tembang.

”Keyakinan untuk menduniakan penggabungan ini muncul lantaran ada tawaran dari Nicolaz Lopez, seorang seniman dari Paris yang memiliki aliran nihilisteman guna menunjukkan penampilan karya kami dalam bentuk video,” ujar ayah dari Yulia Rienjanita, Garuda Mahameru, dan Satria Lembu Sura ini.

Untuk merealisasikan video tersebut, Alex Poerwo menggandeng banyak temannya. Naskah pertunjukan yang ditampilkan merupakan adaptasi dari Surat Harian  karya Handry TM kepadanya yang dijadikan monolog.

Handry TM yang belum lama ini mengeluarkan buku kumpulan puisi terbaru, Tuhan ke Mana Cinta, tidak keberatan dan memberi dukungan penuh kepada Alex, jika suratnya dijadikan naskah monolog.

Upaya Alex Poerwo untuk memoncerkan MPA bukannya tanpa hambatan. Di awal perjalanannya, para pemain didikannya yang memang belum pernah mendapatkan teori atau kajian tentang seni merasa bingung, terutama pada dramaturgi (aturan-aturan dalam bermain drama) yang sama sekali belum pernah dikenalnya.

”Akhirnya mereka belajar aturan tersebut sekaligus latihan. Mereka mempelajari dramaturgi melalui kritikan serta saran saat berlatih. Jika mereka bisa menerimanya hal itu, lantas bisa membuang kesalahan saat proses berlatih, itu artinya telah memiliki ilmu tentang dramaturgi  meski tidak keseluruhan,” jelasnya.

Dalam hal pendukung seperti musik dan background pertunjukkan, Alex menyerahkan kepada orang lain. Dia hanya fokus melatih pemain untuk mencapai puncak penampilan saat pertunjukan.

”Hasil editing video telah saya kirim kepada Nicolaz Lopez. Kritikan dan pujian saya terima darinya. Nicolaz mengungkapkan dia menikmati gerakan yang ditampilkan di video tersebut. Namun dia tidak menikmati dialog yang berbahsa Indonesia, lantaran tidak mengerti,” jelas pria kelahiran 24 Juni 1964 ini.

Karena itu, Alex kini berobsebsi agar karyanya bisa dibuat dalam bahasa Inggris sehingga bisa dinikmati secara universal dan tidak terikat pada satu daerah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending