Connect with us

Pendidikan

Edi Subkhan, Membiakkan Iklim Kritisisme di Kampus

Published

on

BAGI sebagian besar mahasiswa, buku mungkin hanya bakal dijamah jika ada tugas atau mendekati ujian. Padahal, seiring dengan kesadaran pentingnya membaca buku dan mendiskusikannya, pemikiran kritis mahasiswa bakal terus terasah.

Setidaknya hal itulah yang melatarbelakangi Edi Subkhan menggagas pendirian Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS). Dia berharap dari rumah kontrakan berisi seribuan buku yang berlokasi di Gang Kantil, Banaran, Gunungpati, Semarang itu muncul para pemikir-pemikir muda nan andal.

Untuk mewujudkan gagasannya, di rumah yang ia kontrak semenjak awal 2013 itu rutin digelar berbagai kegiatan diskusi dan berbagai agenda pergerakan, selain juga menjadi tempat bagi siapa pun untuk membaca, meminjam, hingga membeli buku yang tersedia.

“Kami mencoba merespons dan mengkaji berbagai permasalahan yang sedang menjadi perbincangan hangat,” ujar Edi, Senin (29/9), di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Topik kajian yang dibahas misalnya tentang polemik pendirian pabrik semen di Rembang hingga sejumlah masalah pendidikan di Tanah Air.

Diksusi itu pun selaras dengan buku-buku yang dihadirkan di rumah yang berimpit dengan kos mahasiswa itu. Dari seribuan judul buku yang ada, kebanyakan memang tak jauh dari tema pendidikan, politik, filsafat, sastra, hingga sejarah.

“Pada mulanya banyak teman yang meminjamkan bukunya di sini, kemudian kami mencoba pasar penjualan buku. Hasilnya lumayan, bisa untuk nutup biaya kontrakan selama setahun,” kata dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes ini.

Kepercayaan Penerbit

Saat ini, RBSS telah memiliki dua mahasiswa yang saban hari mengurusi administrasi peminjaman, penjualan, hingga promosi buku. Menurut pria kelahiran Grobogan, 3 September 1981 ini, sejumlah penerbit pun telah menyediakan diri untuk bekerja sama dengan RBSS.

Meski dengan jumlah order buku yang belum seberapa, tapi kepercayaan penerbit mampu memberi daya hidup tersendiri bagi Edi dan kawan-kawan.

Namun, dosen yang menekuni pedagogi kritis ini menyangkal jika orientasi RBSS hanya soal materi. Baginya, yang terpenting adalah membiakkan iklim akademik mahasiswa. Hal itu menurutnya penting mengingat mahasiswa tak cukup hanya mengandalkan kuliah sebagai sarana mencari ilmu.

“Selain lewat penjualan buku dan diskusi, kami akan menyebarkan propaganda pemikiran seluas-luasnya lewat pembuatan kaos dan pin. Supaya makin banyak yang mengenal RBSS,” kata pria yang hobi menonton film laga ini.

Media promosi pun gencar dilakukan. Selain lewat laman Facebook, RBSS juga telah memiliki website simpulsemarang.com sebagai media promosi. Setiap hari, tercatat kedua laman tersebut rutin mengunggah promosi buku berikut resensinya.

Pria yang mengidolakan Ki Hadjar Dewantara ini menginginkan RBSS seperti Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Menurut Edi, meskipun Driyarkara memiliki bangunan yang sederhana, tapi pemikiran para pengajar dan mahasiswa di dalamnya selalu diperhitungkan.

“Tapi dalam jangka pendek, saya ingin RBSS punya rumah tetap dulu, biar tidak ngontrak terus,” kata Edi. (Dhoni Zustiyantoro-72)

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Malam Ini, Diskusi Membumikan Pluralisme Gus Dur di RBSS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending