Connect with us

Oleh : Aditya Lutfi Nanda Prasetya

Kasus covid-19 pertama kali dideteksi di Wuhan, China (31/12/2019) dan awalnya dilaporkan sebagai penyakit pneumonia namun menjangkit banyak orang di kota tersebut. Hingga saat ini (20/06/2020) sudah memasuki enam bulan pandemi covid-19 dan menginfeksi total 8.846.948 jiwa penduduk dunia. Di Indonesia sendiri covid-19 sudah menginfeksi 45.029 jiwa dengan tingkat kematian mencapai 2.429 jiwa.

Pandemi covid-19 yang tak kunjung berhenti memiliki dampak serius di berbagai bidang kehidupan manusia seperti pendidikan, ekonomi, pariwisata serta berbagai bidang lainnya. Pandemi global covid-19 melahirkan problematika baru bagi seluruh dunia, khususnya mengenai bagaimana upaya negara untuk mencegah dan menghentikan penyebaran virus ini agar tidak semakin meluas. Vaksin sosial seperti kebijakan pembatasan sosial (social distancing) dan lockdown pun dilakukan oleh negara-negara sebagai respon atas situasi darurat ini (Anggia dan Marshell, 2020).

Dilansir dari kompas.com (17/05/2020) para ilmuwan yang tersebar dari berbagai negara tengah berupaya menemukan vaksin covid-19. Saat ini, lebih dari 90 vaksin potensial untuk covid-19 sedang diselidiki di seluruh dunia dengan sejumlah ahli sudah mengumumkan telah melakukan uji klinis vaksin kepada manusia.

Selain itu, berbagai macam test juga sudah berusaha dilakukan untuk mendiagnosis virus covid-19. Metode tes yang paling sering digunakan yaitu Rapid Test dan PCR atau Polymerease Chain Reaction yaitu pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi genetik dari sel, bakteri, atau virus. PCR dilakukan untuk medeteksi material genetik virus corona yang digunakan sebagai acuan diagnosa penyakit covid-19. Sedangkan rapid test adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi antibodi, yaitu Imunoglobulin M (IgM) dan Imunoglobulin G (IgG), yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan virus, antibodi ini dapat terbentuk jika seseorang terkena virus yang masuk kedalam tubuh seperti halnya virus covid-19.

Di tengah pademi covid-19 yang telah berlangsung ini pemerintah Indonesia meminta masyarakat untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan virus corona. Tatanan kehidupan baru ini disebut dengan new normal. Dilansir dari news.detik.com (30/05/2020), new normal adalah langkah percepatan penanganan covid-19 dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Skenario new normal dijalankan dengan mempertimbangkan kesiapan daerah dan hasil riset epidemiologis di wilayah terkait.

Terdapat beberapa daerah yang sudah membua aturan tentang penerapan new normal sambil terus melakukan upaya pencegahan terhadap covid-19. Pemerintah berharap masyarakat dapat mengikuti aturan tersebut dan selalu menerapkan protokol kesehatan dalam setiap aktivitasnya. Membuka berbagai fasilitas transportasi secara bertahap adalah salah satu kebijakan yang diambil di saat new normal yaitu menerapkan protokol kesehatan tingkat tinggi di berbagai fasilitas umum serta akses keluar masuk antar kota juga kembali dibuka.

Namun, terdapat sejumlah dokumen sebagai syarat yang harus dipersiapkan ketika hendak melakukan perjalanan keluar kota baik menggunakan transportasi darat maupun udara. Hal itu diatur dalam Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 yang diterbitkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19 salah satunya adalah mempersiapkan dokumen yang menyatakan bahwa calon penumpang negatif covid-19 berasarkan rapid test ataupun swab test/PCR.

Mewajibkannya masyarkat melakukan rapid test sebagai syarat melakukan perjalanan keluar kota membuat polemik di sebagian masyarakat. Seperti yang di ketahui biaya untuk melakukan rapid test berkisar di harga 300-500 ribu dengan masa berlaku 3 hari, sedangkan tes PCR lebih mahal yaitu di angka 2-3 juta untuk 7 hari. Hal tersebut yang membuat masyarakat merasa keberatan jika harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan rapid test yang hanya berlaku selama 3 hari saja. Padahal, banyak dari masyarakat yang mengalami penurunan perekonomian akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkannya ribuan karyawan karena terhentinya kegiatan perusahaan.

Mahasiswa dan pelajar yang merantau keluar kota juga merasa keberatan karena untuk kembali ke kota asal belajar harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk memenuhi syarat rapid test. Belum lagi, kebutuhan yang lebih penting yaitu membeli tiket transportasi yang juga mengalami kenaikan harga. Hal itu membuat masyarakat menganggap syarat rapid test yang dianjurkan pemerintah hanyalah bisnis semata untuk meraup keuntungan di tengah sengsaranya masyarakat akibat pandemi.

Saat ini, rapid test yang digunakan sebagai syarat dari pemerintah untuk melakukan perjalanan keluar kota dirasa kurang tepat. Karena rapid test sebenarnya bukanlah vaksin, hanya sebuah alat untuk mengetahui seseorang terserang virus ataupun tidak. Bisa saja orang dengan hasil reaktif dalam rapid test dikarenakan sakit flu ataupun sakit lainnya yang menyebabkan meningkatnya antibodi. Hasil uji terhadap rapid test tidak menjamin penumpang terpapar covid-19 saat berpergian. Dapat pula dicurigai hasil rapid test dan PCR test hanya menguntungkan rumah sakit karena setiap harinya puluhan ribu orang berpergian  mengajukan rapid test sebagai syarat menggunakan moda transportasi.

Organisasi Kesehatan dunia (WHO) mendeklarasikan Pernyataan Keilmuan pada (08/04/2020) yang menyatakan bahwa seseoran yang terkena covid-19 menghasilkan antibodi pada pekan kedua setelah terpapar. Deteksi antibodi pada rapid test juga menghasilkan kemungkinan bereaksi terhadap virus lain selain covid-19 sehingga dapat menyebabkan hasil positif palsu dalam pengujian.

Selain itu, kemampuan deteksi antibodi oleh rapid test untuk memprediksi apakah seseorang mengeluarkan imun terhadap infeksi covid-19 masih dalam penelitian yang mendalam. Sampai saat ini belum ada bukti yang mendukung terhadap hal ini. Berdasarkan data yang ada, WHO tidak merekomendasikan penggunaan rapid test untuk mendeteksi covid-19 tetapi mendukung untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap rapid test.

Lantas, jika organisasi kesehatan dunia WHO sudah mengatakan rapid test tidak akurat untuk mendeteksi covid-19 mengapa pemerintah tetap mewajibkan masyarakat untuk melakukan rapid test sebagai syarat untuk berpergian keluar wilayah. Atau memang anggapan masyarakat jika rapid test hanyalah peluang bisnis di tengah pandemi itu benar?

Jika dilihat dari sisi kegunaanya rapid test sendiri merupakan alat yang digunakan sebagai alat deteksi antibodi guna mendiagnosis covid-19 di tubuh seseorang. Setelah itu jika hasil dari rapid test reaktif-positif di lanjutkan dengan pengujian melalui laboratorium atau test PCR. Dilansir dari infopublik.id  (16/06/2020) Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah telah mengalokasikan 677,2 Triliun untuk percepatan penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Sehingga seharusnya pemerintah mampu memfasilitasi masyarakat untuk mendeteksi covid-19 melalui rapid test secara gratis.

Oleh karena itu pemerintah hendaknya memanfaatkan dana tersebut untuk memperbanyak alat uji cepat atau rapid test sebagai alat deteksi dini terutama untuk kalangan pelajar dan juga mahasiswa agar tidak terbebani biaya yang mahal untuk sekedar rapid test. Pemerintah juga lebih baik memperbanyak pengujian laboratorium atau PCR test karena tingkat keakuratannya yang dapat mendeteksi virus covid-19.

Jika dilihat saat ini, alokasi dana pemerintah cukup terbukti bermanfaat karena di beberapa tempat pelayanan kesehatan sudah mulai mampu memberikan rapid test gratis seperti beberapa puskesmas di DKI Jakarta. Pemkab Jember bekerja sama dengan Universitas Jember juga memfasilitasi rapid test gratis dalam rangka menjelang penerimaan mahasiswa baru. Ditempat lain pada tanggal (25/06/2020) bandara Soekarno Hatta juga menggelar rapid test gratis untuk masyarakat umum atau penumpang.

Hal tersebut membuktikan keseriusan pemerintah dalam mendeteksi penyebaran covid-19 di seluruh penjuru Indonesia serta diharapkan juga masyarakat terutama pelajar dan mahasiswa dapat memanfaatkan penyelenggaraan rapid test gratis sebagai syarat untuk menggunakan transportasi umum sehingga dapat kembali ke kota rantau untuk belajar.

 

[Aditya Lutfi Nanda Prasetya]
Artikel ini merupakan hasil latihan opini mahasiswa peserta didik mata kuliah jurnalistik dari jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNNES

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending