Connect with us

Hari-hari ini, mana yang lebih populer dan tampak keren: mengkritik praktik beragama atau memujinya?

Di lingkungan pertamanan saya di Facebook, yang pertama lebih keren.

Orang-orang yang mengkritik agama cenderung dianggap lebih atraktif secara intelektual, berani, dan karenanya: tampak keren. Postingan macam ini, yang biasanya dibungkus satir, lebih mudah viral.

Saya bertanya-tanya: apakah ini kencederungan umum belakangan ini atau cuma terjadi dalam gelembung pertamanan saya?

Kadang-kadang, saya sendiri sering tergoda untuk melakukannya. Rasanya keren juga bisa mengkritik praktik agama. Seperti orang tercerahkan ala tokoh-tokoh rasional renaisans pasca-Abad Pertengahan.

Tapi dorongan itu relatif terkendali. Sejauh ini.

Pertama, saya sadar, mengkritik agama orang lain hanya akan melahirkan perdebatan berbusa-busa yang tidak ada faedahnya.

Orang tidak menjadi sehat dan bahagia karena itu. Bibit kelengkeng yang baru saya tanam juga tidak menjadi lebih cepat berbuah karenanya.

Kedua, kritik (ofensif) terhadap agama orang adalah bukti kebodohan. Sebab, komentar terhadap praktik beragama orang lain berarti mengomentari wilayah yang sama sekali belum saya masuki.

Tentu saja saya tahu agama orang lain. Mungkin juga tahu pokok-pokok ajarannya. Meski sedikit.

Tapi orang tidak pernah memahami agama sebelum dia menjalankannya dengan sepenuh hati. Komentar terhadap agama orang adalah kesoktahuan yang menjurus kebodohan. Kecuali: dalam bingkai akademik.

Suatu hari saya pernah tergoda mengomentari ritual umat agama tertentu: membakar petasan sebagai persembahan untuk arwah leluhur.

Dari sudut pandang luar, amat tidak masuk akal menerima ajaran bahwa petasan yang berisik dan boros itu bisa bikin leluhur lebih damai menjalani kehidupan setelah mati.

Di hari lain, saya tergoda untuk mengolok ajaran agar orang tidak menikah.

Juga pernah, tergoda mengomentari secara negatif sekte keagamaan yang merayakan kematian tokoh panutannya dengan menyakiti tubuh.

Dari sudut pandang luar, semua itu tampak konyol.

Tapi kalau mau bertukar sudut pandang, ternyata banyak juga ritual agama saya yang bagi orang luar mungkin tampak konyol.

Bagaimana bisa memutari bangunan berbentuk kubus adalah sebuah ibadah? Dan melempari patung dengan kerikil adalah sesuatu yang bermakna secara spiritual?

Tampak mengada-ada kan, ya?

Atau, bagaimana bisa di zaman modern ini ada aturan yang membuat laki-laki boleh menikahi hingga empat perempuan sementara perempuan tidak bisa melakukannya?

Dan kenapa salat lebih dianjurkan sehingga diwajibkan? Bukankah kayang, lompat harimau, atau bermain polo air lebih bagus untuk kesehatan tubuh?

“Kekonyolan” yang ada dalam agama sendiri selalu menemukan pembenaran karena saya memiliki pengetahuan dan penghayatan untuk mengaitkan ritual itu dengan nilai spiritual di baliknya.

Tidak sekadar tahu, saya mungkin juga punya pengalaman yang membuat ritual itu tidak melampaui wujud harfiahnya.

Pengetahuan dan penghayatan itu tidak saya miliki terhadap ritual dan agama orang lain. Itu alasan yang cukup untuk membuat segala jenis tindakan ofensif terhadapnya tidak layak dilakukan.

Selain alasan itu, ada alasan lain yang membuat komentar negatif terhadap keyakinan dan ritual agama lain benar-benar tidak perlu.

Pengalaman spiritual, sebagaimana Karen Amstrong pernah nyatakan dalam “Masa Depan Tuhan”, itu bersifat tacit.

Secara sederhana, pengetahuan yang berifat tacit adalah pengetahuan otentik yang dimiliki seseorang karena ia mengalaminya. Jenis pengetahuan ini bersifat otentik terekam dalam tubuh, dalam pikiran, dalam otot dan tidak bisa dinyatakan.

Contohnya: pengalaman nyaris mati bersifat tacit. Pengalaman perempuan saat melahirkan juga bersifat tacit.

Meski pengalaman itu dituturkan dengan teknik narasi yang memukau seperti teknik narasi Jules Verne atas AS Laksana, mustahil bisa dirasakan oleh orang yang hanya mendengar ceritanya.

Yang dapat dinyatakan orang melaui cerita adalah pengalaman yang dapat tertampung dengan bahasa.

Padahal bahasa adalah alat ekspresi yang bersifat eksplisit.

Meskipun berkembang jadi sistem simbol yang canggih, bahasa tidak memiliki kemampuan mewakili keseluruhan realitas. Apalagi pengalaman yang bersifat batin-spiritual. Bahasa tidak bisa menampung makna terdalamnya.

Kemampuan bahasa untuk menggambarkan sensasi batin sebenarnya bisa terjadi melalui puisi, melalui lagu, melalui mantra.

Namun sifat ketiganya yang multitafsir juga tidak memberikan jaminan bahwa bahasa dapat menampung keseluruhan sensasi spiritual.

Karena itu, pengalaman spiritual bersifat tacit. Ia otentik, terbungkus dalam peti suci. Tidak setiap orang bisa mengaksesnya, meski bisa melihatnya.

Gua Lascaux di Gargone berisi lukisan-lukisan kuno yang diduga merupakan salah satu ekspresi spiritualitas tertua. Lukisan itu dibuat sekitar 30.000 sebelum Masehi.

Ada kemungkinan, lukisan itu dibuat untuk proses inisiasi. Semacam pembaptisan agar seorang remaja diakui sebagai laki-laki dewasa.

Bukan lukisan itu yang membuatnya istimewa. Tetapi cara manusia menjangkau lokasinya.

Untuk samapi ke sana, orang harus melalui gua-gua kecil dan gelap. Di titik tertentu, cuma bisa dilewati satu tubuh manusia. Amat tidak nyaman, amat tidak aman.

Pengalaman antara hidup dan mati menuju gua itulah yang mungkinembuat orang merasakan pengalaman spiritual tertentu. Pengalaman itu mungkin membuatnya sadar bahwa hidup manusia ternyata amat rentan.

Agar hidup yang amat rentan itu menjadi bermakna, ia harus diabdikan untuk kebaikan-kebaikan.

DI titik inilah, temuan terhadap makna ditempuh melalui proses yang otentik. Dialami. Dikhayati. Tidak cuma dituturkan dengan kata-kata.

Bahasa mungkin memiliki sisi spiritualitasnya sendiri. Namun dalam hubungannya dengan spiritualitas, bahasa mungkin ibarat kail. Atau jala.

Dengan alat itu, kita memang bisa menangkap makna. Tapi makna yang dapat ditangkapnya amat terbatas. Permukaan saja. Sementara spiritualitas adalah laut. Dalam dan misterius.

 
Salam,
Rahmat Petuguran
Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
SUmber gambar: heraldchronicle.com
 

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending