Connect with us

Kolom

Realitas, Media, dan Perilaku Manusia

Published

on

Dulu, sekelompok orang percaya bahwa realitas dapat dipotret dan disajikan ulang dengan sama persis. Seperti potret sebuah pelabuhan menjelang senja, di sana tergambar ada perahu-perahu yang bersandar dengan layar yang kepayahan. Lebih detail lagi, sebuah potret barangkali juga bisa menunjukkan warna langit yang jingga dan sekawanan burung yang terbang di atas permukaan laut yang teduh.

Optimisme yang cenderung naïf itu terpelihara hingga kini – terutama di kalangan ilmuwan modern bermazab positivistik. Terhadap media, kelompok ini meyakini bahwa tidak ada jarak antara realitas dengan realitas media. Keduanya bagaikana benda dan bayangan cermin. Kembar. Sama persis.

Belakangan, pendapat ini mendapat kritik dari kelompok kritis. Realitas media ternyata tiruan cacat, distorsi, dan manipulasi atas realitas. Distorsi dapat terjadi karena ketidakberdayaan manusia untuk merekam sesuatu secara utuh sekaligus (juga) ketidakberdayaannya menuturkan sesuatu dengan sama persis. Tapi yang jauh lebih penting, distorsi realitas media kadang disengaja agar media bisa diberdayakan jadi alat propaganda.

Informasi adalah mula pengetahuan. Pada awal periode rasionalisme, rasionalis seperti Descartes percaya bahwa pengetahuan sejati ada dalam pikiran manusia berupa episteme. Pengalaman, yakni persinggungan subjek dengan objek pengetahuan, tidak dianggap sebagai variabel yang bermakna.

Pandangan ini kemudian dikoreski kelompok empirisme (empirisisme?) yang mengakui, selain dari pikiran, pengetahuan manusia juga dibentuk oleh pengalaman. Konskuensi dari pandangan ini adalah, adanya pengakuan, bahwa sesuatu yang ada “di dalam” dipengaruhi atau bahkan dikonstruksi oleh sesuatu yang ada “di luar”. Alat indera menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya.

Dengan meminjam analisis kelompok empirisme, kita bisa kelompokkan ada sejumlah realitas. Pertama, realitas adalah apa yang terjadi secara aktual di luar sana tanpa bisa dicampuri pikiran. Kedua, realitas adalah konsep yang dipahami seseroang sesuai kapasitas intelektual dan preferensi ideologisnya. Ketiga, realitas adalah apa yang dikatakan seseroang mengenai sesuatu. Realitas ketiga kemudian diikuti oleh realitas pengikutnya; keempat, kelima, dan seterusnya.

Realitas media, dengan demikian, adalah realitas tingkat aksen. Realitas media tercipta dari pemahaman jurnalis terhadap peristiwa aktual yang terjadi. Keterbatasan kemampuan jurnalis merekam sebuah peristiwa dengan utuh membuat realitas media adalah realitas yang terdistorsi. Ada bias, cropping, bahkan kekaburan yang membuatnya berjarak, berbeda, atau bahkan sama sekali lain dengan realitas aktualnya.

1. Mitos Media

Sejak informasi disadari dapat dijadikan sebagai senjata perebutan kekuasaan, orang-orang semakin serius mengelola dan memanfaatkannya. Lembaga riset didirikian dengan biaya miliaran rupiah sebagai institusi yang bertugas membaca “realitas”. Untuk menyebarkan realitas itu, kemudian didirikanlah media.

“Peneliti” yang bekerja di lembaga riset berupaya meyakinkan masyarakat bahwa data yang diperolehnya layak dipercaya sebagai tiruan realitas. Begitu pula media, para awaknya berupaya meyakinkan publik bahwa informasi yang disampaikannya layak dipercaya. Untuk mendukung upaya itu, mereka meahirkan sejumlah mitos media. Sebagaimana mitos lainnya, keyakinan ini nyaris diterima sebagai sebuah kebenaran.

1.1 Media bersikap objektif

Beberapa saat setelah terjadi penyerangan gedung kembar wall street center di New York, perhatian media dunia tertuju kepada presiden Amerika Serikat George W Bush. Presidan memanfaatkan kondisi ini untuk menyebarluaskan keyakinannya bahwa Amerika telah diserang. “Amerika under attack,” katanya.

Sejak saat itu, hampir saban hari media mengutip dan menebitkan pendapat presiden atau pejabat Gedung Putihlain dengan narasi yang hampir sama, yakni Amerika adalah pihak yang diserang. Al-Qaeda, dengan demikian, adalah aggressor yang harus bertanggung jawab terhadap penyerangan itu.

Keasyikan para jurnalis mengutip pendapat Gedung Putih, disadari kemudian, sebagai kekeliruan yang fatal. Secara terus menerus media mereproduksi pendapat Gedung Putih tanpa memperoleh konfirmasi dari Al-Qaeda. Akibatnya, realitas media menjadi asimetris. Media menyampaikan kebenaran tunggal tanpa kebenaran pembanding.

Kesalahan fatal media berakibat panjang. Keyakinan dan klaim Bush diakui publik sebagai kebenaran tunggal. Pada saatnya, Bush memperoleh legitimasi ketika ia berencana menyerang Afghanistan. Adapun publik Amerika tidak pernah mendapat bukti yang meyakinkan bahwa pelaku penyerangan WTC adalah benar-benar Al-Qaeda. Publik juga tidak memperoleh informasi memadai, kalaupun pelakunya Al-Qaeda, apa motif mereka melakukan itu?

Hampir semua media mengklaim dapat bersikap objektif menghadapi persoalan politik, sosial, dan hukum. Bagi saya ini klaim yang gegabah. Sebab, media di kelola oleh manusia yang memiliki gagasan, sistem niai, dan persepsi sendiri. Sistem nilai memengaruhi perspektifnya saat melihat informasi.

Selain kemustahilan epistimologis itu, jurnalis selalu diintervensi oleh tiga pihak sekaligus, yakni pemilik media, pemasang iklan, dan pembaca. Ini membuat sikap jurnalis tidak pernah pure bertumpu pada etika jurnalistik.

1.2 Media Mewakili Publik

Sebagaimana kata “rakyat”, kata “publik” adalah kata yang paling banyak disalahgunakan. Publik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang umum. Dalam wacana politik, “publik” kerap disinonimkan dengan “masyarakat”.

Pronomia jamak ini bersifat imajiner. Ketika orang mengatakan “publik”, terdapat kekaburan referensi yang ditujunya. Ketika seseorang mengatakan “publik”, yang dia persepsikan adalah publik yang homogen. Padahal, pada aktualnya, publik memiliki beragam karekter dan kehendak.

Ketika sebuah koran menurunkan tajuk “Presiden Dikritik Publik”, penulis tajuk itu sedang memainkan kata publik. Dia menganggap bahwa publik yang dimaksudkannya adalah seluruh orang pada sebuah komunitas negara. namun, ia sendiri tidak pernah bica menjangkau dan mengenali semua orang di sebuah negara. Maka, yang ia maksud sebagai publik adalah sebagian orang, sekelompok orang, yang diketahui dan dikenalnya.

1.3 Berita Selalu Faktual

Para jurnalis yakin betul bahwa yang ditulisnya adalah fakta. Keyakinan semacam ini patut dihargai sebagai niat baik untuk menuturkan sesuat secara jujur. Namun demikian, perlu dimengerti, bahwa dalam proses peliputan dan penulisan berita, jurnalis juga melakukan pelesapan, penggantian, dan transformasi atas fakta yang ditemukannya. Dengan demikian, fakta berita sejatinya hanya fakta terpilih.

1.4 Media Bersikap Independence

Dalam The Elements of Journalism (2001) Bill Kovach secara khusus menyebut, “Jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya.” Saya mengibaratkan jurnalis sebagai penonton sepak bola. Ia hadir di tepi lapangan, menyaksikan pertandingan sejak wasit mengatur giliran menendang bola dengan koin.

Sebagai penonton, tentu saja ia tak boleh ikut menendang, mengumpan, apalagi sampai menciptakan goal. Tapi, apa boleh buat, secara instingtif ia memiliki kecenderungan untuk mendukung salah satu tim. Bukan karena tim yang bertanding adalah tim pujaannya, tapi karena hal sepele, misalnya karena ia suka warna kostum yang digunakan tim bersangkutan.

Agar mampu menjaga jarak dengan objek liputannya, wartawan atau redkatur mengatur tugas peliputan secara ketat. Namun, itu saja terkadang tidak cukup. Maka, digunakanlah prinsip cover both side; sebuah sikap untuk memberikan ruang bicara kepada pihak-pihak yang ditulisnya dalam berita. Kovach menyodorkan sejumlah cara:

  1. Jangan menambah atau mengarangi apa pun;
  2. Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
  3. Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
  4. Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
  5. Bersikaplah rendah hati.

Meski prinsip ini dapat saya tulis dengan uraian singkat, sungguh tak mudah mempraktikannya. Korea Herald, medi terbitan Korea Selatan, jelas kesulitan menjaga jarak dengan objek liputannya jika yang ia liput adalah perkembangan instalasi nuklir Korea Utara. Mereka, mungkin, akan selalu terkukung pada syak wasangka bahwa Korea Utara adalah “suadara jahat” yang tak tahu diri. Maka, laoran-laporan yang mereka turunkan biasanya bersifat ofensif. Sikap ini, agaknya diikuti oleh Koran-koran terbitan barat, yang memang memiliki konflik ideologis menurun sejak lama.

Sebagai korporasi, media barangkali bisa membuat target-target ideal untuk bersikap netral. Namun di dalam perusahaan itu terdapat aktor (subjek) yang telah memiliki nilai-nilai. Para awak redaksi telah memiliki standar kualitas. Pandangan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja saat ia melaksanakan tugas jurnalistiknya. Ia tetap akan melakukan penilaian berdasarkan preferensi kebenaran dan keluasan wawasannya.

2. Pengetahuan dan Dominasi

Alvin Toffler membuat tesis menarik tentang informasi. Ia berpendapat, telah terjadi perubahan “peta” orang kuat seiring perubahan lanskap sosial. Pada era purba dan masyarakat agraris, orang-orang yang kuat adalah mereka yang memiliki badan kekar dengan otot kuat. Mereka yang bisa memukul hingga lawan kelenger, merekalah yang memenuhi kriteria sebagai orang kuat.

Kriteria orang kuat bergeser ketika memasuki era feodal dan kemudian revolusi industri. Pada era itu, kekayaan adalah kekuataan. Dengan aset yang dimilikinya, para baron, pemilik perkebunan, dan pemilik pabrik bisa mengendalikan ribuan orang. Orang-orang bertubuh kuat justru menjadi kuli bagi orang-orang kaya ini.

Kondisi kembali berubah ketika terjadi revolusi informasi. Penemuan mesin cetak, alat komunikasi, dan kemudian internet membuat informasi menjadi alat sosial yang digdaya. Subjek yang berkuasa memproduksi dan mendistribusikan informasi berkesempatan untuk membuat standar kebenaran yang berlaku di sebuah komunitas. dengan cara itulah ia dengan mudah dapat memantapkan dominasi dan kekuasaannya.

Tesis Toffler, saya kira, relevan dengan tesis Michele Foucault mengenai pengetahuan. Dia berpendapat, tidak ada ilmu pengetahuan yang netral. Semua pengetahuan (di)muncul(kan) untuk kepentingan subjek tertentu. Ini berarti, subjek yang memiliki otoritas atas pengetahuan memiliki akses untuk menentukan mana pengetahuan yang published dan pengetahuan yang disimpan. Lebih buruk lagi jika subjek juga dapat melakukan pengaburan kebenaran atas pengetahuan yang dikuasainya.

Anggota masyarakat cenderung mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional. Tindakan politik, ekonomi, maupun kultural diambil berdasarkan pertimbangan untung rugi. Pertimbangan itu disusun dengan sejumlah informasi yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Jenis, keluasan, dan kedalaman informasi yang diperoleh seseroang – dengan demikian – menentukan tindakan yang mungkin (possible act) dilakukan seseorang.

Persoalan menjadi kian rumit – tapi sekaligus menarik – lantaran pengetahuan sengaja digunakan untuk kepentingan dominasi. Elit politik menggunakan informasi untuk kepentingan politiknya. Pemilik modal menggunakan informasi untuk membangun habit konsumsi calon konsumennya. Tokoh agama menggunakan informasi demi perluasan dakwah dan misi evangelisnya. Bahkan cendekia, penulis, dan guru juga memanfaatkan informasi untuk meneguhkan mazabnya.

Bayangkan, berapa besar keuntungan sosial, politik, ekonomi dan kultural yang bisa diperoleh seseroang jika ia bisa menjadi penentu jenis dan porsi informasi yang dikonsumsi publik?

Di tengah sengkarut ini, ksadaran epistemologis terhadap informasi perlu dimiliki masyarakat luas. Kesadaran epistemologi – setidak-tidaknya – berkatan dengan tiga persoalan. Pertama, bagaimana kriteria informasi bermakna dan bagaimana membedakannya dengan gosip, prasangka, dan stigma? Kedua, dengan cara apa informasi itu diproduksi dan didistribusikan? Ketiga, untuk keperluan apa informasi itu diproduksi dan distribusikan?

Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM,
Pengajar Universitas Negeri Semarang
rahmatpetuguran@gmail.com
085647662257

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending