Kolom
Peyorasi “Jihad”

Terus terang, saya khawatir dengan cara media belakangan ini mereproduksi kata jihad dan jihadis. Ada kecenderungan, kata pertama di disempitkan makna pada urusan berperang atas nama agama. Adapun kata kedua disempitkan hanya untuk menyebut orang yang berperang dengan sentimen agama (Islam).
Tak sekadar menyempit, ada kecenderungan kata jihad dan jihadis dipeyorasi. Maknanya didorong hingga spesifik untuk menyebut aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Padahal, jauh hari, makna kata jihad dalam berbagai konteks perbincangan memiliki makna yang sangat positif: berjuang (dengan sungguh) di jalan Tuhan, berjuang untuk kebenaran, berjuang untuk kebaikan.
Lantaran kata jihad berarti “berusaha dengan sungguh-sungguh”, dulu maknanya sangat luas. Bekerja (asal sungguh-sungguh) adalah jihad. Belajar meraih impian (jika sungguh-sungguh) juga adalah jihad. Bisa jadi, eker-eker ke lawan jenis (asal sungguh-sungguh) juga jihad.
Saya khawatir, peyorisasi kata jihad akan menyeret kata itu hingga bermakna sama sekali berbeda dengan makna asalnya. Proses demikian sangat mungkin terjadi karena kata dan maknannya memang memiliki relasi yang dinamis: kadang rekat, kadang renggang, seperti sepasang remaja yang berpacaran.
Peyorisasi bisa berlangsung singkat dan massif karena kata “jihadis” direproduksi oleh media-meda besar. Lihat bagaimana media Barat menggunakan kata ini dalam berita dan editorial mereka. Produksi makna baru kata jihadis disebarkan oleh mesin raksasa idola umat manusia: Google.
Jika peyorisasi kata jihad terus berlangsung, persepsi penutur bahasa terhadap konsep jihad juga akan berubah: dari baik ke buruk. Akumulasi dari semua itu: persepsi penutur bahasa terhadap objek yang dilambangkan dengan kata “jihad” juga akan berubah menjadi buruk.
Selanjutnya, jika jihad telah dipersepsi secara kolektif sebagai perbuatan yang buruk, orang akan enggan atau bahkan malu melakukan aktivitas itu. Akibat puncaknya: orang tidak mau jihad, merasa jihad tidak keren.
Nah, untuk menghindari itu, saya kira media sebaiknya berhenti menyebut para maniak perang dengan sebutan jihadis. Mereka adalah maniak, dan sebut saja tetap seperti itu: maniak perang. Kalaupun ingin cari istilah lain, cari saja istilah lain, misalnya: orang kurang kerjaan.
Adapun kata jihad dan jihadis, saya kira, perlu dipelihara agar hanya digunakan untuk menyebut objek dan konsep yang “memang” mulia. Tindakan semacam itu perlu karena bahasa memang sebuah arena pertarungan dan makna senantiasa diperebutkan. Siapa kuat, memiliki otoritas menentukan makna, dia yang merajai kata. (Sumber gambar: ibtimes.co.uk)
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Lowongan10 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira10 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira10 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Muda & Gembira11 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus13 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim