Connect with us

Janur kuning terpajang di depan gerbang utama kampus Unnes, Rabu (19/7) malam. Tak heran kalau pengguna jalan bertanya-tanya, “Unnes lagi mantu?”

Ya, malam itu Unnes mantu untuk keenam kalinya. Seperti hajatan mantu lainnya, di kampus Berwawasan Konservasi terpasang pelaminan lengkap dengan gebyoknya. Di Gedung Joglo kompleks Kampung Budaya, sepasang manten duduk dengan senyum mengembang. “Orang tua” mereka duduk mendampingi.

Lalu siapa yang menikah? Yang menikah adalah mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. Tapi pernikahan mereka bukanlah yang sebenarnya. Pernikahan itu jadi bagian dari praktik mantu yang diselenggarakan sebagai ujian mata kuliah Pranatacara.

Dosen pengampu mata kuliah itu, Sayuti Anggoro BA, menuturkan bahwa ujian dengan model praktik itu diselenggarakan agar mahasiswa dapat mempraktikkan keterampilannya membawakan acara. Tidak hanya membawakan acara, karena ujian itu diselenggarakan nyaris seperti aslinya, mahasiswa juga belajar aspek lain.

Soal busana, misalnya, mahasiswa menggunakan baju yang sesuai dengan adat pernikahan Solo. Pengantin putri mengenakan pakaian Solo Basahan, lengkap dengan ronce dan lainnya. Pun demikian “petugas” upacaya, tampil rapi dengan beskap dan blangkon (laki-laki) dan sanggul (bagi perempuan). Adapun para “tamu”, tampil rapi dengan batik.

“Adat yang dipakai memang adat Solo yang sedikit dimodifikasi dengan tradisi Pesisir,” terang Sayuti.

Prosesi mantu diawali dengan prosesi siraman. Malamnya ada prosesi midodareni. Pagi dilakukan ijab panggih resepsi. Kemudian, ada proses gundhuh mantu di rumah mempelai laki laki sepasar kemudian.

Dalam proses resepsi sendiri, ada berbagai tahapan yang harus dilakoni. Ada proses liron, yakni saling menukar kembang mayang yang menyombolkan bersatunya cipta, rasa dan karsa dua mempelai. Usai itu, kedua pengantin saling lempar sirih dengan harapan semoga semua godaan hilang terkena lemparan tersebut. Lantas, sindur yakni menyampirkan kain (sindur) ke pundak mempelai dan menuntun mempelai pengantin ke kursi pelaminan.

Keunikan dalam proses mantu itu menarik perhatian banyak orang. Ratusan mahasiswa hadir di tribun untuk menyaksikan upacara yang detail dan tampak rumit itu.

Bagi peserta sendiri, pengalaman itu terasa berharga. Dengan menyimulasikan, mereka bisa merasakannya secara langsung. Teori yang mereka peroleh di kelas teraplikasikan dalam aktivitasnya yang sesungguhnya. Kondisi itu persis dengan pepatah Jawa: ngelmu iku kalakone kanthi mantu, eh, laku.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending