Connect with us

Tidak ada perasaan lain yang lebih kuat ketika memasuki halaman-halaman terakhir Matinya Sang Penguasa selain sesak di dada. Perasaan itu pula yang saya rasakan ketika memasuki bab-bab terakhir Perempuan di Titik Nol.

Dua novel itu ditulis oleh orang yang sama, seorang perempuan,  seorang berkebangsaan Mesir, seorang dokter, mungkin juga dikenal sebagai seorang feminis, bahkan dijuluki DeBuvoire-nya Arab, yang oleh dunia dikenal sebagai Nawaal El-Saadawi.

Baik dalam Matinya Sang Penguasa maupun Perempuan di Titik Nol, El-Sadawy membimbing saya sebagai pembaca pada kondisi masyarakat yang amat asing sekaligus amat akrab. Ia mengisahkan sebuah masyarakat yang begitu “religius” sekaligus begitu bejat.

Kondisi inilah yang selalu memunculkan pertanyaan, bagaimana El-Saadawi bisa merangkai realitas fiksionalinya menjadi demikian asing sekaligus akrab itu? Apa sebenarnya yang berkecamuk dalam ruang kognitifnya hingga ia bisa melahirkan cerita semacam itu?

Jika kita patuh pada nalar ekspresionisme, kita bisa duga bahwa konflik dan tokoh dalam cerita yang muncul dalam karya El-Saadawi adalah ekspresi fiktif atas pengalamannya di masa lampau. Perempuan ini menyimpan dendam yang amat kuat kepada masyarakatnya, yang tampak kerdil dan picik. Dia barangkali hidup dalam masyarakat yang memiliki tradisi mendendangkan kitab suci sambil mempraktikkan tindakan-tindakan yang mengingkarinya.

Dendam ini mungkin telah tumbuh ketika usianya baru enam tahun. Seperti anak perempuan lain di Kafr Tahla di Provinsi Qalyubia, ia harus menahan rasa sakit akibat proses klitoridektomi, proses pemotongan klitoris yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Mesir.

Tanpa bantuan medis yang memadai, saya membayangkan proses itu adalah prosesi rasa sakit yang berkepanjangan. Luka akibat upacara itu mungkin tidak hanya terasa di antara dua pahanya, melainkan membekas di dalam ingatannya. Dan bagi El-Saadawi yang diberkahi cukup akal, rasa sakit itu akan membimbingnya pada temuan bahwa ia hidup pada masyarakat yang sakit secara sosial. Temuan itu modal yang lebih dari cukup untuk menjadi radikal.

Pada 2009, ketika usianya sudah 78, ia mengakui bahwa sikap radikalnya terus tumbuh seiring bertambahnya usia. ‘I am becoming more radical with age,” katanya kepada The Guardian. Ia kemudian membandingkan dirinya dengan penulis lain. “I have noticed that writers, when they are old, become milder. But for me it is the opposite. Age makes me more angry.”

Kemarahan itu, sangat mungkin, kian menjadi karena ia terus menemukan bahwa ketidakadilan yang menimpanya ternyata dirasakan oleh banyak perempuan lain. Temuan itu terutama ia peroleh ketika bekerja sebagai psikiater dan memberi banyak konsultasi dengan perempuan yang stres karena tertekan oleh tradisi patriarkhi. Tekanan patriarkhi menjadi sumber penderitaan banyak perempuan Mesir sama dengan tekanan kolonial dan kemiskinan. Bahkan ketiganya mungkin menyatu, menjadi bongkahan batu besar yang harus dipanggul perempuan Mesir.

Kemarahan El-Saadawi akan sangat terasa pada cara ia mendeskripsikan laki-laki di kedua novelanya. Tidak ada laki-laki baik di sana. Kalaupun ada lelaki tidak jahat, ia pasti seorang yang bodoh, dan bodoh  adalah alasan yang cukup membuat orang gagal menjadi “baik”.

Dalam Matinya Sang Penguasa, lelaki  bahkan bisa menjadi demikian setan. Ada Walidesa yang mengabdikan akal dan kekuasaannya semata untuk kelamin. Ada Syekh Hamzawi yang menjual agama untuk kedudukan dan hartanya. Ada Syekh Zahran yang superlicik, siap melakukan apa pun untuk kepuasaan atasanya. Juga Haji Ismail.

Jika tidak jahat, laki-laki digambarkan bodoh. Lihatlah misalnya karakter Kafrawi, yang rela membiarkan dirinya ditahan untuk mejahatan yang tidak dilakukannya. Ia tidak berdaya, bahkan untuk sekadar membela diri.

Karakter itu pula yang muncul pada Galal. Sebagai seorang mantan tentara yang enam tahun bergaul di ibu kota, ia tidak memiliki modal sosial apa pun utnuk membela diri ketika dituduh mencuri. Akibatnya, ia “rela” saja ketika masuk dalam penjara, membiarkan ibu dan istrinya menjadi mainan bagi penguasa.

Karakter laki-laki yang demikian ini, barangkaki lahir dari rekaman dunia yang hidup dalam El-Saadawi. Dalam usianya yang panjang, ia mungkin telah menemui begitu banyak laki-laki yang telah begitu jahat kepada perempuan. Sejauh ia ingat tentang laki-laki di sekitarnya, sejauh itu pula ia berupaya memfiksikannya. (Gambar: randomlythinkingdb.wordpress.com)

Rahmat Petuguran
Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Semarang

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending