Connect with us

Ada kemarahan kolektif yang muncul sebagai respon terhadap tercetaknya gambar bendera terbalik pada Sea Games 2017. Kemarah kolektif itu mudah diamati di media sosial. Ada yang marah dengan cara jenaka, tapi tak sedikit yang kemarahannya lebay: ganyang Malaysia!

Bagi saya, aneka ekspresi itu menarik sebagai sarana membaca kembali konsep-konsep nasionalisme. Peristiwa itu juga bisa jadi sarana yang baik untuk mempelajari kuasa simbol dalam hubungan antarmanusia.

Oleh Ben Anderson, nasionalisme telah dirunut asal muasalnya. Lahirnya negara bangsa pada abad 19 membuat ikatan emosional berbasis ras mulai pudar. Ikatan emosional berbasis ras (dan ikatan keturunan) tergantkan oleh ikatan berbasis kesepakatan politik.  Gejala itu menguat dengan keruntuhan negara berbasis agama.

Negara-negara yang berdiri pada abad 19 banyak yang didirikan oleh kesamaan nasib. Mereka sama-sama dijajah oleh penjajah yang sama, mengalami penindasan bersama, sehingga membangun komitmen untuk melawan secara bersama-sama. Ketika perlawanan itu membuahkan kemerdekaan, bangsa yang berbeda-beda itu bisa membentuk komitmen politik bersama dengan mendirikan negara.

Di negara-negara yang baru berdiri, ikatan emosional dibangun dengan berbagai perangkat politik. Dari sinilah lahirlah nasionalisme, sebuah konsep – yang menurut Anderson – bersifat imajiner.

Dasar negara, lambang negara, bendera negara, dan bahasa nasional adalah instrumen yang selama ini diberdayakan untuk mengkonstruksi nasionalisme. Dengan dasar negara yang sama, lambang negara yang sama, bendera yang sama, puluhan juta orang yang tidak pernah saling kenal bisa merasa menjadi “satu”.

Dalam ungkapan yang lebih sederhana, perangkat itu difunsgikan sebagai sarana merekayasa kesadaran orang per orang agar merasa memiliki identitas yang sama.

Pada situasi seperti itulah, simbo menunjukkan kuasanya. Bendera – sebagai simbol – adalah ilsutrasi visual yang mengkonkretkan konsep keindonesia yang rumit, dianamis, dan imajiner. Simbol berfungsi merepresentasikan konsep, pikiran, dan perasaan sebagai Indonesia yang hidup dalam benak masing-masing orang.

Mekanisme itu menyababkan “kain 2 x3 berwarna merah dan putih” bernilai melebihi wujud fisiknya. Nilai simbolik yang melekat pada kain memiliki tautan langsung dengan “rasa keindonesiaan” yang hidup dalam benak dan pikiran orang per orang.

Itulah alasan yang membuat orang bisa menangis menatap “kain 2 x 3” berkibar di halaman rumahnya. Orang lain bisa merasakan kebanggaan luar biasa ketika bendera itu dikibarkan di arena olahraga .

Bendera berfungsi sebagai metafor (jembatan) yang membuat hal-hal batin dan konseptual menjadi konkret dan tersentuh.

Di era-era terdahulu, gejala itu melahirkan sensasi batin. Di era media sosial, sensasi batin itu tak cukup dirasakan, tetapi harus diekspresikan. Selain memperingan beban rasa dalam pikiran, mengekspresikan kecintaan terhadap merah putih di media sosial membantu para pengucapnya mengidentifikasi diri sebagai (agar seolah-olah) nasionalis sejati.

Rahmat Petuguran

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending