Ribuan manusia mengular di sepanjang jalan Kalimasada Banaran hingga lokasi pemakaman warga Kelurahan Sekaran pada Jumat (11/3) pagi tadi. Sepanjang perjalanan, mereka melantunkan salawat.
Mereka adalah warga Banaran-Sekaran dan santri yang mengantar Kiai Masyrokhan untuk terakhir kalinya. Pimpinan Ponpes Durrotu Aswaja, Banaran, itu meninggal Kamis sore (10/3) di RS Roemani Semarang. Jenazahnya dimakamkan hari ini.
Pemakaman Kiai Masyrokhan identik dengan pamakaman kiai-kiai kharismtaik lain. Ribuan santri mengiringi proses pemamakaman, mereka berebut keranda agar bisa menunjukkan bakti kepada kiai mereka.
Pemandangan seperti itu meninggalkan pengalaman yang menggetarkan. Sensasi kesyahduannya barangkali setara dengan kesayhduan fans Liverpool yang menyaksikan tim kesayangannya itu langsung di Anfield. Ada perasaan yang meluap-luap, ada rasa kehilangan yang meski ditutup-tutupi tetap saja tak terbendung.
Santri-santri yang mengiringi pemakaman Kiai Masyrokhan bukan hanya santri aktif yang kebetulan kini bermukim di pondok. Ada puluhan, mungkin ratusan, santri alumni yang datang dari berbagai kota untuk mengantar kepergiannya.
Inilah yang membuat saya tertegun: mengapa kepergian Kiai Masyrokhan begitu menyedihkan bagi ribuan santri dan koleganya?
Saya menduga, itu karena amal baik beliau memang besar. Amal baiknya mungkin berkali-kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan Gunung Merapi. Apakah ini ungkapan yang hiperbolis? Mari kita mengingat-ingat.
Beliau mendirikan Pesantren Durrotu Aswaja di Banaran, sebuah kampung kecil yang semarak oleh kehadiran Universitas Negeri Semarang. Dalam pesantren itu, ia membiarkan ribuan anak-anak muda dari berbagai daerah bermukim. Kiai Masyrokhan menyediakan “rumah” yang layak bagi anak-anak muda yang karena cita-citanya, terpaksa terpisah dengan orang tuanya.
Bukan hanya menyediakan rumah kedua, Kiai Masyrokhan mengajari para santrinya ilmu agama. Ia membimbing anak-anak muda dari kepongahan modernitas. Dengan begitu, anak-anak muda itu memiliki pijakan yang mantap untuk menjalni hidupnya sebagai anak, sebagai warga, sebagai manusia.
Tidak cukup itu, Kiai Masyrokhan banyak menyediakan fasilitas bagi santrinya agar para santrinya juga mandiri secara ekonomi. Dengan berbagai latihan, Kiai Masyrokhan seperti sedang memelihara sebuah pohon. Ia menyirami bibit pohon itu ketika berdaun dua agar kelak bisa tumbuh menjulang.
Sungguh, saya berani bertaruh: tidak setiap manusia memiliki ketulusan seperti yang pernah beliau tunjukkan.
Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM
7 Comments