Connect with us

Klub Film, buku yang ditulis David Gilmour, jadi salah satu buku laris dunia. Dalam buku itu dikisahkan, seorang ayah mengizinkan anaknya tidak bersikolah, asal anak itu harus mau menonton tiga film per pekan. Film dijadikan oleh sang ayah sebagai pengganti sekolah bagi anak tercintanya.

Kisah yang, konon, nyata itu membuat orang tua perlu berpikir, bisakah film menjadi sarana pendidikan yang baik? Jika bisa, bagaimana caranya? Dua pertanyaan itu patut diajukan agar orang tua bisa memanfaatkan film dengan tujuan edukatif. Bukan semata hiburan, tapi pencerahan dan pencerdasan.

Di berbagai sekolah, film memang telah digunakan sebagai sarana pembelajaran. Lazimnya, siswa menyaksikan film kemudian mendiskusikannya. Dengan proses itulah, diasumsikan, akan ada proses kognitif dan afektif. Melalui film anak-anak bisa memahami sesuatu atau menginternalisasi nilai-nilai tertentu.

Sesederhana itukah? Dalam perspektif pendidikan, film bisa dianggap sebagai tiruan realitas. Di sini film berfungsi seperti novel. Dalam film ada konflik yang disarikan atau diadaptasi dari konflik-konflik yang ada di masyarakat. Ada konflik sosial, ada konflik psikologis, juga jenis konflik lainnya. Saat anak menonton film dia berusaha melibatkan diri dalam konflik yang disaksikannya.

Kebanyakan orang memihak dan mendukung protagonis ketika mereka menonton film. Sikap ini tidak selalu disadari oleh penonton. Ketika menyaksikan film, diam-diam, seseorang mengenali tokoh dan melakukan penilaian-penilaian etis. Penonton akan menilai bahwa tokoh ini baik, tetapi tokoh lainnya kurang baik. Penonton akan mengimajinasikan dirinya adalah si tokoh baik itu.

Kondisi ini dapat membuat penonton memiliki ikatan emosional dengan tokoh idoalnya. Dia akan berusaha menebak-nebak nasib tokoh pilihannya. Ketika tokoh mengalami nasib baik, dia akan turut senang. Sebaliknya, saat tokoh mengalami nasib buruk, dia akan turut sedih atau marah. Tidak jarang, ada penonton yang menangis saat menyaksikan tokohnya mengalami peristiwa tidak baik.

Ketika anak menonton film, anak mengalami proses intelektual. Dia akan terdorong mengenali objek-objek dalam film itu. Selain itu, anak juga berusaha mengidentifikasi sifat dan karakter sesuatu. Lebih kompleks lagi, anak juga berusaha memahmi hubungan satu peristiwa dengan peristiwa lain secara logis. Dengan begitu, ia berusaha menggunakan nalar kausalitas dan kronologisnya.

Selain proses intelektual, anak juga mengalami proses afektif. Ada nilai-nilai tertentu yang diperoleh anak. Jika nilai itu relevan dengan dirinya, nilai itu akan diyakini. Sebaliknya, kalau nilai itu tidak relevan, akan ditolak. Maksud ditolak adalah dilupakan atau disangkal.

Dengan proses eperti itu, film sangat bermanfaat bagi penontonnya, termasuk anak-anak. Tapi, tentu saja, ada strategi tertentu agar film itu benar-benar memberi efek edukatif pada penontonnya.

Pertama, pilih film sesuai perkembangan kognitif anak. Pilihlah film dengan dialog dan konflik sederhana supaya mudah dipahami. Konflik yang sederhana biasanya melibatkan orang dalam jumlah kecil, memiliki dampak kecil, juga tentang kegiatan keseharian yang akrab. Bagi anak-anak, segalanya harus tampak konkret.

Kedua, ketika menonton, anak-anak harus dengan pendampingan orang dewasa. Orang dewasa bertanggung jawab memastikan proses nonton itu berlangsung sehat. Jika ada bagian film yang membingungkan, orang tua bertugas menjelaskan. Di akhir kegiatan, orang dewasa juga bisa menjadi mitra diskusi yang bertugas menekankan bagian-bagian penting. Bukan memaksakan kesan pribadi kepada anak, melainkan menekankan hal-hal penting dari film. (Foto: hvparent.com)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending