Connect with us

Disrupsi, kata yang teramat sering dibahas akhir-akhir ini. Tidak hanya dalam diskusi kampus namun seluruh institusi pun seakan berlomba-lomba melakukan inovasi. Bahkan, sebagian orang memaknai era disrupsi sebagai bom waktu yang akan meledak. Bagi yang dapat menyesuaikan zaman maka akan menuai kejayaan, sebaliknya jika tidak berubah dengan cepat, lambat laun akan terlindas zaman. Oleh sebab itu, dampak disrupsi memunculkan berbagai kekhawatiran. Salah satunya tentang tergerusnya kebudayaan bangsa dari akarnya. Maka, peran pendidikan dalam era disrupsi ini sangat dibutuhkan. Utamanya, untuk investasi pelestarian budaya bagi generasi muda. Bahkan, dalam waktu yang bersamaan juga menyiapkan generasi yang cakap akan perubahan zaman. Ini penting.

Peran vitalnya dunia pendidikan perlu didorong oleh terobosan-terobosan yang inovatif. Apalagi, menggabungkan antara pelestarian budaya dan  cakap teknologi bukanlah perkara yang mudah. Tantangan seperti tersedianya sarana dan prasarana, jaringan internet hingga kemampuan sumber daya manusia masih menjadi kendala dalam upaya percepatan kualitas pendidikan. Namun, tantangan itu selayaknya dijadikan motivasi dan semangat untuk mengejar kekurangan tersebut. Pasalnya, pendidikan menjadi kata kunci dalam pelestarian budaya di era disrupsi ini. Maka, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah selayaknya tidak meninggalkan unsur kebudayaan.

Ada banyak faktor mengapa kebudayaan menjadi perhatian serius dalam era disrupsi. Pertama, budaya itu rentan punah. Data Badan Bahasa Jakarta menuturkan terdapat 11 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah dan ada 4 bahasa daerah yang sudah terancam punah (Kompas, 10/02/2018). Artinya kebudayaan yang agung jika tidak diwariskan kepada generasi muda maka kemungkinan besar akan mengalami kepunahan. Kedua, era disrusi membawa pola interaksi yang sangat berbeda dengan zaman dulu. Jika dulu anak bermain bersama di halaman sekolah, maka saat ini anak berinteraksi dengan temannya banyak menggunakan gadget. Oleh sebab itu, perlu penyatuan antara budaya dan kebutuhan anak zaman sekarang. Ketiga, anak zaman sekarang akan memperoleh pekerjaan yang belum ada di zaman sekarang. Oleh sebab itu, sangat tidak bijak jika anak dijauhkan dalam penggunaan gadget dan perkembangan teknologi yang lain. Namun, yang perlu dilakukan adalah pendampingan secara intensif dalam penggunaan gadget. Baik di rumah atau pun di sekolah. Anak diberikan banyak konten, sumber belajar, dan ruang belajar yang positif.

Menguatakan kebudayaan di Era Disrupsi

Oleh sebab itu, perlu adanya harmonisasi antara menguatkan kebudayaan, era disrupsi dan dunia pendidikan. Ada beberapa cara yang efektif dapat digunakan untuk menguatkan kebudayaan. Pertama, eratkan hubungan antara anak dengan keluarga. Semakin erat hubungan antara anggota keluarga, maka anak akan semakin terbuka terhadap permasalahan yang dihadapinya. Bahkan, anak akan merasakan kenyamanan didekapan keluarga. Dampaknya, keluarga dapat mengarahkan budaya yang baik secara masif kepada anak. Adat istiadat, sopan santun, tepo seliro, handarbeni hingga tata budaya unggah-ungguh dalam berinteraksi tidak akan sulit untuk ditanamkan. Maka, di era disrupsi ini, keteladanan orang tua pun sangat diperlukan.

Kedua, mendekatkan teknologi berbasis budaya melalui pendidikan. Sangat tidak bijak jika siswa dihindarkan dalam penggunaan teknologi. Namun, siswa selayaknya diarahkan dalam aktivitas yang positif dalam penggunaan teknologi. Salah satu contohnya, penggunaan media sosial yang berfungsi untuk menyebarluaskan hasil-hasil kebudayaan daerah seperti foto tentang kegiatan upacara adat, tarian tradisional, kesenian tradisional hingga menyebarkan potensi-potensi kearifan lokal di setiap daerah. Dampaknya, kebudayaan terangkat, potensi daerah pun menjadi dikenal oleh banyak orang. Padahal, cara yang sederhana ini sangat efektif untuk menyiapkan siswa dalam kehidupan di masa mendatang. Tidak jarang juga media sosial menjadi ladang paling tepat untuk mencari pekerjaan di era disrupsi. Oleh sebab itu, muatan tersebut selayaknya menjadi salah satu materi dalam pembelajaran di sekolah dan perkuliahan.

Memang, karya anak bangsa yang menyatukan antara kebudayaan dan teknologi sudah mulai kelihatan. Salah satunya, belajar gamelan melalui e-gamelan yang dikembangkan oleh mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro, belajar aksara jawa menggunakan aplikasi aksara jawa yang dikembangkan oleh mahasiswa Universitas Negeri Semarang, belajar tarian daerah menggunakan sarana Youtube hingga parodi bahasa daerah pun banyak viral di media sosial. Bahkan, beberapa Film pun mulai diproduksi menggunakan bahasa daerah. Sayangnya, contoh baik ini masih kurang disosialisasikan di dalam bangku sekolah dan perkuliahan. Maka, perlu pengenalan lebih masif terhadap upaya-upaya pelestarian budaya yang menggunakan media teknologi informasi. Siapa tahu, semakin banyak yang mengenal tentang kebudayaan yang disosialisasikan menggunakan teknologi maka anak-anak terinspirasi membuat konten-konten yang positif dalam upaya pelestarian kebudayaan. Bahkan, bukan tidak mungkin anak bangsa yang akan menciptakan robot bahasa jawa untuk belajar menggunakan bahasa jawa.

Ketiga, masyarakat perlu lebih sadar dalam pelestarian budaya dalam era disrupsi. Era disrupsi ini sangat membukakan peluang berbagai hasil kebudayaan untuk dijadikan senjata dalam menyejahterakan masyarakat. Sehingga budaya selayaknya mendapat perlakuan khusus dan istimewa. Maka pelestarian menjadi hal yang wajib bagi setiap daerah.  Bahkan, perlu dikembangkan melalui pemikiran yang out of the box. Utamanya melalui pembentukan kelompok masyarakat yang sadar wisata budaya. Melalui kelompok ini, budaya tidak hanya terus di uri-uri, namun akan terus dikembangkan.

Ketiga ranah tersebut menjadi satu kesatuan utuh dalam upaya mengembangkan kebudayaan menjadi semakin jaya, menyatukan dan menyejahterakan. Karena disrupsi bukan hanya tentang ancaman, namun peluang dalam merengkuh kejayaan di masa depan. Salah satunya melalui pelestarian budaya di era disruptif.

 

Galih Suci Pratama, M.Pd

Guru SD N Sekaran 02 Kota Semarang

 

 

 

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending