Connect with us

Ditunjuk Presiden jadi menteri pasti bikin orang hepi. Wajar sih, karena jabatan setingkat menteri membawa banyak implikasi sosial dan psikologis yang besar.

Secara sosial, itu jabatan yang dianggap tinggi. Jabatan itu bisa ditafsir sebagai pengakuan atas kompetensi yang dimiliki seseorang. Meski gajinya tidak besar-besar amat, tapi banyak banget hal yang dapat dilakukan orang dengan jabatan itu.

Karena itulah, wajar banget kalau calon-calon menteri itu bahagia. Berbunga-bunga, bahkan.

Tapi seberapa besar kebahagiaan yang mereka rasakan?

Sebagai gejala psikologis, tentu sulit menjawab pertanyaan itu dengan pasti.

Tapi ilmuwan sosial Yuval Noah Harari punya sejumlah hipotesis yang bisa kita gunakan untuk menjawab pertanyaan itu.

Pertama, kebahagiaan itu bukan soal ukuran yang diperoleh, tapi lompatan yang dibuatnya.

Kalau kamu dapat bonus Rp100 juta dari kantor, belum tentu nominal itu bisa membuat hati berbunga-bunga selama seminggu.

Tergantung kondisi keuangan kamu sebelumnya. Kalau bonus terbesar yang kamu pernah dapat cuma Rp5 juta, angka Rp100 juta itu besar banget. Karena itu, kamu pasti seneng bukan main.

Tapi bagi orang yang bonus tahunannya Rp90 juta, angka Rp100 juta gak bikin hepi-hepi amat. Biasa saja.

Bagi Pak Jokowi sendiri, sensasi yang dia alami saat kepilih untuk pertama kali dengan kedua juga pasti beda. Padahal sama-sama terpilih jadi presiden. Bedanya, saat pertama kali terpilih dia buat lompatan besar. Saat terpilih kedua kalinya, dia gak buat lompatan apa-apa.

Nah, buat orang kayak Mahfud MD, ditunjuk Jokowi jadi menteri mungkin sama seperti kamu ditraktir mie ayam oleh temen lah. Hepi, iya. Tapi sampai rumah hepinya mungkin sudah ilang.

Bagi Nadiem Makarim atau Wishnutama mungkin lain. Mereka mungkin gak bisa tidur malam ini. Sangking hepinya.

Kalau kamu pernah hepi karena lulus ujian nasional atau keterima di kampus impian, kurang lebih begitulah kebahagiaan mereka. Ingat: kebahagiaan bukan soal ukuran, tapi soal lompatan.

Kedua, kebahagiaan itu soal makna. Peristiwa yang sama bisa diintepretasi dengan cara yang berbeda. Tergantung worldview atawa ideologi orangnya.

Bagi banyak orang, jabatan tinggi itu keren. Karena itu, buat orang seperti itu jabatan layak banget dibanggakan dan dipamerkan.

Tapi bagi orang lain, jabatan itu kerjaan tambahan. Bikin repot. Karena jabatan, waktu privat akan berkurang drastis. Waktu buat main dengan anak-anak bisa habis. Ngobrol sama tetangga juga ga bisa lagi.

Emang ada ya orang kayak gitu? Banyak! Itu bukan karena orang itu naif, tapi karena punya pilihan hidup yang unik. Bagi orang seperti ini ngobrol santuy dengan tetangga adalah kenikmatan yang lebih berharga dari mobil dinas, tunjangan, dan kursi superempuk di ruang ber-AC.

Seorang filsuf dari Yunani pernah didatangi utusan raja. Utusan itu memberi tawaran: boleh minta apa pun, bakal dikabulkan raja. Filauf yang sedang berjemur itu cuma minta satu hal: Minta utusan geser dikit karena badannya ngalangin cahaya matahari. 😂

Ketiga, tiap orang punya batas kecukupannya masing-masing. Kecukupan uang, jabatan, ruang aktualisasi.

Ada riset, bahwa penghasilan ideal bagi orang yang tinggal di kota besar Amerika itu sekitar $750 ribu per tahun. Sekitar Rp11 miliar.

Dengan uang sejumlah itu, orang jelas bisa mencukupi kebutuhan dasarnya. Uang itu juga cukup mencicil rumah yang nyamannya di atas rata-rata, kendaraan yang amat layak, menyekolahkan anak, liburan, membeli asuransi, dan berinvestasi.

Batas orang Indonesia tentu tidak mencapai nominal itu. Dengan penghasilan Rp600 juta per tahun (Rp50 juta per bulan), batas aman orang Indonesia rasanya sudah tercukupi.

Uang dalam jumlah melampuai batas cukup ternyata tidak berkorelasi dengan peningkatan kebahagiaan. Itu normal, karena uang berlebih ternyata menciptakan kerepotan baru bagi pemiliknya. Itu bisa bikin pemiliknya bingung, mumet, bahkan stres.

Jadi, kalau hari ini kamu gak ditelepon Jokowi, santuy saja ya. Asal kamu tahu siapa dirimu dan apa yang kamu mau, kamu tetap bisa hepi seperti Wishnutama atau Nadiem Makarim hari ini kok.

Salam,

Rahmat Petuguran
Hepi banget kalau nulis joke dan dapet banyak 😂😂😂

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending