Connect with us

News

Melihat Para Pengrajin Senjata Tajam di Kandri…

Published

on

SENJATA tajam seperti arit, bendo, atau belati mungkin tidak familiar bagi pekerja kantoran. Tapi bagi petani, alat semacam itu adalah kebutuhan utama. Di Kelurahan Kandri, Gunungpati, alat-alat itu diproduksi. Bagaimana prosesnya?

Menurut Sasmito, salah satu perajin senjata tajam di Kelurahan kandri Gunungpati, proses pembuatan dimulai dengan menyepuh bahan. Bahan dasar, yang biasanya dari per mobil, disepuh selama 1 jam. Arang yang digunakan harus arang jati. Sebab, jika menggunakan kayu lain, panasnya berkurang.

Setelah membara, bahan dari baja dibentuk sesuai keinginan. Bahan terus menerus ditempa sehingga pipih. Palu yang digunakan juga istimewa. Beratnya mencapai 5 kilogram. Proses inilah yang diakui sebagai proses paling melelahkan. Bahkan Sasmito, sekalipun terbiasa menempa sejak masih SD, sering merasakan badannya pegal-pegal.

Di bengkelnya, Sasmito dibantu seorang rekan, Nedi. Keduanya menempa sebilah besi bersama-sama. Kadang suaranya terdengar saling bersahutan. Sasmito memukul saat Nedi mengangkat palunya, dan Nedi memukul saat Sasmito mengangkat palunya. Begitu seterusnya. Suara itu pula yang menarik perhatian banyak orang. Beberapa pengendara sepeda motor yang melintasi jalan raya Gunungpati-Kandri sengaja berhenti.

Bengkel Sasmito tidak hanya melayani pembuatan. Warga banyak yang datang untuk menservis alatnya pertaniannya. Siamto, warga Sedeng contohnya, datang untuk memperbaiki bendonya. Marsam bahkan sengaja datang dari Banyumanik untuk menajamkan kembali cangkulnya yang sudah tumpul. “Kemarin dipakai anak saya. Mungkin ngena batu, jadi rusak,” katanya.

Kerajinan senjata tajam di Kandri ternyata telah berdiri sejak tahun 1950an. Bengkel yang Sasmito kelola bahkan kini sampai pada genersi ke tiga. Sebelum dikelolanya, bengkel itu dikelola ayahnya, Karimin. Sedangkan Karimin dulu menerimanya dari kakaknya, Sujak, yang telah meninggal. Karena itulah, Sasmito memberi label alat-alat yang dibuatnya dengan label N3. “Ya, itu karena sekarang sudah generasi ke tiga,” katanya.

Tanda N3, selain sebagai tanda generasi ke tiga, juga menjadi merek. Dulu ia pernah menggunakan merek KN, namun ditiru banyak orang. Banyak pengrajin yang sengaja meniru produknya karena dianggap lebih bagus. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengganti mereknya.

Sasmito mempelajari cara pembuatan senjata tajam sejak belia. Ia kerap ngrusuhi saat ayahnya bekerja. Ia bereksperimen membuat senjata sendiri. Dulu ia senang membuat belati, meski bentuknya tidak seperti yang ia kehendaki. Bahkan ia kerap dimarahi karena menghabiskan arang. “Arang kan mahal. Satu karung empat puluh ribu,” katanya.

Selain melelahkan, pekerjaan sebagai pande juga berisiko. Kecelakaan bisa sewaktu-waktu menimpanya. Sasmito pernah mengalaminya 2008 silam. Percikan api dari besi yang ditempanya mengenai matanya. Meski sakitnya hanya dirasakan sehari, kecelakaan itu sempat membuat pandangannya kurang jelas. Karena itu, setiap bekerja sekarang ia selalu menggunakan kacamata hitam.

Sekarang, saat usia Sasmito menginjak 32 tahun, ayahnya sudah renta. “Delapan puluh tahun lebih,” katanya. Usaha itupun ia warisi. Meski demikian, Karimin tidak lepas sama sekali. Ia bertugas membuat pegangan dari kayu supaya senjata-senjata bisa digunakan. Ia pula yang bertindak menjadi supervisor. Ia meneliti barang-barang yang dihasilkan sebelum dilempar ke pasar. Kalau ada barang yang dirasa kurang layak, Karimin memberi treatment tambahan.

Dalam satu hari Sasmito dan Nedi bisa menghasilkan 6 sampai 8 senjata. Selain bergantung tingkat kesulitan, Sasmito berujar, produktivitasnya sangat tergantung dengan kondisi tubuh. Jika sedang fit, ia bisa kerja hingga pukul lima sore. Tapi jika badannya terasa pegal-pegal ia memilih pulang lebih awal. Panas bara kerap membuat energinya lebih mudah terkuras.

Jika lulus uji kualitassenjata Sasmito biasanya dipasarkan ke Pasar Gunungpati. Setiap Kliwon ia membuat dhasaran. Lumayan, dalam sehari ia bisa menjual 30 hingga 35 bilah arit. Umumnya arit dan bendo dijual dengan harga Rp 30 ribu. Pedang dan cangkul dijual lebih mahal karena bahan yang digunakan lebih banyak.

Di bengkelnya, Sasmito kerap kerepoten melayani pelanggan yang menyerviskan alatnya. Mereka bahkan harus antri. Sebab, Sasmito biasanya memilih berkonsentrasi mengerjakan satu pekerjaan sebelum mengerjakan lainnya. Pekerjaan semakin banyak karena ia juga kerap menerima pesanan.  Tahun 2006 contohnya, ia sempat menerima pesanan dari Keraton surakarta. 12 pedang sepanjang 90 sentimeter dan 12 tombak diborong. “Masing-masing harganya Rp 150 ribu,” katanya. PortalSemarang.com

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Monde

    February 27, 2016 at 2:47 pm

    Selamat kepada Pak Edy..Semoga bisa mgmeeabnn amanah barunya lebih baik dan semakin membuat nama baik Jurusan matematika semakin baik lagi..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending