Connect with us

Ada banyak penelitian yang membuktikan, paparan televisi dan internet punya pengaruh kuat terhadap bahasa seseorang. Pengaruh itu bisa pada ranah kompetensi (competence) maupun performansi (performance).

Dulu, orang Texas yang lazimnya beraksen Selatan banyak yang memiliki aksen British karena siaran BBC menjadi teman tumbuh anak-anak di sana. Sekarang banyak anak-anak Indonesia yang berbicara dengan aksen Melayu Malaysia gara-gara dua bocah gundul bernama Upin dan Ipin.

Kini, Youtube adalah televisi bagi anak-anak milenial dan pasca-milenial. Apakah media itu memiliki pengaruh yang sama dalam persebaran dialek? Atau bahkan lebih kuat?

Pertama-tama, saya perlu membuktikan bahwa Youtube memang memiliki determinasi dalam membentuk karakter bahasa seseorang. Sebelum membentuk dialek (karena proses pembentukan dialek relatif panjang), kita lihat dulu bagaimana jargon-jargon di Youtube tersebar.

Saya menelusuri persebaran kata #ashiaap yang dipopulerkan Atta Halilintar. Untuk melihat bagaimana jargon itu berinteraksi dengan penggunanya, saya coba gunakan Drone Emprit Akademik (DEA) dan Google Trends.

Google Trends berguna untuk menggali data pencarian di mesin pencari, DEA berguna untuk melihat interaksi di media sosial (terutama Twitter).

Data-data yang digali dari sumber itu membuktikan, media sosial benar-benar memiliki jangkauan yang dahsyat untuk memperkenalkan istilah tertentu.

Berdasarkan catatan Google Trends, “ashiaaap” mencapai puncak popularitasnya pada Maret 2018. Namun tren itu bertahan hingga sekarang. Pada 30 Juli 2019 jargon itu masih digunakan dalam 471 mention, 2,336 replay, dan 140 retweet.

Berdasrakan fitur Social Network Analysis (SNA) yang ditampilkan tampak bahwa kata ini telah relatif menjadi “milik publik”. Buktinya, meski Atta Halilintar masih menjadi tokoh yang twitnya paling banyak di-retweet, pola relasi antar-tweet itu menyebar relatif acak.

Data yang digali sejak 1 Maret 2019 hingga 31 Juli 2019 menempatkan Atta Halilintar sebagai tokoh yang paling “berpengaruh”. Namun data teraktual sepekan terakhir menempatkan akun Twitter @smartfren dan @smartfrencare dalam daftar yang paling berdampak. Berikutnya adalah @FadjroeL, @Shopee, dan @KemenPU.

Data pada DEA juga bisa diperjelas dengan menampilkan fitur gografi pengguna. Ini membuat analis bisa mengaitkan lokasi-lokasi utama persebaran itsilah tertentu. Jika cukup waktu, rasanya juga bisa diperjelas dengan memasukan variabel usia dan gender.

Apakah dengan begitu, data ini bisa digunakan untuk melacak pengaruh Youtube dalam membentuk dialek tertentu?

Seperti saya katakan di atas, dialek dibentuk dalam waktu lama. Data paling sahih adalah data verbal (lisan).

Perlu basis data yang cukup kuat agar persebaran istilah dapat dilacak pengaruhnya dalam jangka waktu lama. Inilah gunanya mahadata (big data).

Meski begitu, DEA memberi kemungkinkan-kemungkinan yang sangat luas dalam riset sosiolinguistik. Data yang dihimpun bisa dikelola agar bisa dibaca untuk melihat sikap bahasa, pergeseran bahasa, bahkan perubahan bahasa.

Dulu, periset sosiolinguistik seperti William Labov harus melakukan pengamatan etnografis di Martha’s Vineyard, Massachusetts untuk meneliti perubahan fonologis penutur bahasa Inggris.

Ia juga melakukan pengamatan sosiologis dengan mengamati interaksi antartetangga di Philedelphia. Bahkan ia dan tim harus menelpon 762 penutur bahasa Inggris di Amerika Utara untuk agar bisa membuat Atlas of North America English (ANAE).

Tentu saja, metode entografis memiliki keunggulan sendiri. Namun ia juga punya kelemahan untuk menjangkau subjek penelitian yang massif. Nah, kelemahan itu agaknya bisa dilengakpi aplikasi-aplikasi semacam Drone Emprit.

Sekarang Mbah Labov sudah sepuh (91 tahun) dan mungkin tidak aktif lagi melakukan riset perubahan bahasa. Sandainya masih aktif, beliu mungkin berujar:

“Uasem iwk. Ngumpulke data isa ngono tok. Nyambi ngemil karo dolanan PUBG.” Mungkin lho.

Rahmat Petuguran

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending