Connect with us

Harjanto Halim

Catatan 10 Harjanto Halim: Mata Uang

Published

on

Catatan 10 Harjanto Halim:

Saya ngurus perpanjangan paspor di Kantor Imigrasi. Sambil menunggu giliran dipanggil, saya membuka BB. Tak lama kemudian datang sepasang suami isteri. Wajah mereka familiar, tapi saya lupa nama mereka. Saya mengangguk, dibalas senyum dan anggukan. Mereka duduk pas di belakang saya. Saya memasukkan BB ke kantong dan menoleh ke belakang.

Entah bagaimana mulanya, kami mulai ngobrol soal program ‘Meat Free Monday’ yang dilakukan di sekolah dimana saya menjadi pengurusnya. Meat Free Monday adalah program vegetarian di hari Senin. Saya bilang program itu tidak gampang, harus dimulai dari gurunya dan anak-anak yang masih TK. Kalau sudah kadung di SMA, susah merubah kebiasaan. Si Isteri manthuk-manthuk dan menjawab, “Saya tidak bisa makan daging…, kalau makan malah muntah…”
Hah??? Vegetarian by nature? Saya kenal beberapa orang yang memang alergi bau daging.
“Neg…”, kata mereka.
Saya selalu berseloroh, “Yang bisa bikin neg bukan cuman masakan…, suami juga bisa…”
HªHŪHÁª.

Saya dipanggil Petugas untuk diambil foto, dilanjutkan proses cap jari. Semua jari dipindai secara digital. Canggih juga, tidak lagi pakai tinta. Saya kembali duduk. Saya menoleh ke belakang dan melanjutkan perbincangan. Saya bercerita, saya barusan kembali dari liburan di Jepang.

Saya cerita soal kebiasaan ‘onsen’, alias berendam di bak belerang. Bagaimana kalau mau onsen, kita harus melepas semua baju, semua pakaian – tanpa sehelai benang melekat di tubuh. Lalu kita harus membasuh badan dan keramas bersih-bersih, baru kita masuk ke kolam air panas bersulfur. Wah sangat enak, damai, tenteram.

Saya pernah bercerita tentang onsen pada seorang Kyai. Beliau menyimak, lalu berkomentar, “Itu sangat ‘kitabiyah’, mas…”

Hahh?? Kitabiyah? Maksudnya gimana, Gus?

“Lhaiya itu, saat kita menghadap Gusti Allah…, yang terbaik adalah dalam keadaan polos…, apa adanya…, tanpa baju…, tanpa gelar…, tanpa jabatan. Hati dan tubuh bersih…”

Ooo. Lalu saya tambahkan bahwa lokasi onsen ada di lereng gunung Fujiyama yang hawanya sejuk, kolamnya di luar, beratapkan langit, ditemani pepohonan hijau dan kicau burung. Si Gus Kyai mendekatkan wajah. “Tiket ke Jepang…, harganya berapa sih, Mas..??”

HªHŪHÁª. Kepincut si Gus ini. Kedua suami-isteri di belakang saya ikut tertawa.

“Saya juga pernah mendaki gunung saat kuliah…, dan itu menyadarkan saya…,” tutur si Isteri.

Saya menoleh ke belakang. Lalu si Isteri bercerita ia pernah ikut kegiatan mendaki gunung. Pertama kali mendaki gunung, ia sangat pongah. Ia sangu jus jambu sebagai bekal, juga bawa duit banyak. Pokoknya ia merasa aman dan nyaman dengan bekal yang dibawanya. Saat haus, jus jambu diminum. “Glukkk…, glukkk…” Segerrrr!
Ia melirik ke teman-teman dan orang-orang desa yang menemani mereka. Sangunya cuman air putih atau air kendi. Walah.., ndeso!

Mereka terus mendaki. Hossshhh…! Hossshhh…! Hossshhh…! Naik lagi. Hosshhh…! Hossshhh…! Minum jus jambu nan manis. Hossshhh…! Tambah haus. Teman-teman dan orang-orang desa minum air putih. Mereka nampak makin segar saja, sementara ia makin haus dan sengsara. Hossshhh…! Hosssshhh…! Mau beli air, tidak ada yang jual.

Duitnya tidak laku di pegunungan nan sepi. Tanjakan gunung makin terjal. Hossshhh…! Hossshhh…! Tubuhnya semakin lemas dan lemah, langkahnya terseret-seret gontai tak bertenaga. Orang-orang desa yang menemani rombongan, mulai membantu menarik dan mendorong tubuhnya yang bongsor. Hossshhh…! “Aku rak kuwat!!!”

Orang-orang desa yang tadinya nampak dekil, kulitnya hitam dan tangannya kasar, kini menjelma bagai malaikat. Ia menggenggam tangan orang desa itu dengan erat, menggantungkan harapan dan nyawa di tangan-tangan manusia yang tadinya ia pandang sebelah mata. Hossshhh…! “Aku rak kuwatttt!!!”

Ia sadar saat itu juga, uang bukan segalanya. Ada mata uang lain yang berlaku abadi dimana-mana. Mata uang itu adalah: ‘kemanusiaan’. Sejak hari itu hatinya dilembutkan.

“Saya jadi gampang nangis…,” sambung si Isteri perlahan. “Uang di tas ini…,” katanya sambi menunjuk tas yang dipangkunya, “…kadang habis saya bagikan untuk pengemis di jalanan…”
Suaminya mesam-mesem di sampingnya.

Pernah suatu ketika, mereka sedang naik mobil Honda Jazz sekeluarga bersama anak-anak. Sore itu Kota Semarang hujan lebat, Simpang Lima banjir besar. Mereka mau pulang ke rumah. Saat hendak naik ke Jalan Pahlawan, si Isteri melihat seorang ibu tua sedang payungan di bawah lebat hujan, berjalan di tengah banjir sambil membawa bakul yang ia selendangkan di punggung. Timbul rasa iba si Isteri. “Jualan apa dia?”
Ia meminta suaminya memutar lagi. Wajah anak-anak cemberut semua.

“Kasihan, hujan hujan dan banjir kok masih jualan…, mau tak belini…”, kata si Isteri penuh haru.

Sang suami menghela nafas panjang, lalu memutar balik arah mobil. Mobil berhenti. Hujan turun makin menderas. Si Isteri turun sambil payungan. Ia berjalan mendekati si ibu tua, lalu mengulurkan selembar uang kepadanya. Uang disambar si ibu tua. Mendadak si ibu tua terkekeh-kekeh sendiri. Uang dikibar-kibarkan ke udara kayak bendera, sambil bernyanyi keras-keras. Oala, jebule…, si ibu tua ini ‘orgil’, alias orang gila! HªHŪHÁª.

Si Isteri masuk lagi ke dalam mobil dengan tubuh basah-kuyup. Sambil melihat bayangan si ibu tua makin kabur di belakang, si Isteri menghela nafas lega. Lebih baik menurutkan suara hati, daripada nanti malam tidak bisa tidur, membayangkan wajah si ibu tua…

Nama saya kembali dipanggil oleh Petugas untuk wawancara. Perpanjangan paspor beres dan lancar. Saya pun pamit pulang kepada pasangan suami isteri teman ngobrol. Sambil berjalan ke mobil, saya megangi leher…., kok rasanya céngéng ya? Oo, tadi kongkow sambil noleh ke belakang terus sih. Hehehe, kalau késengsém, kadang lupa…

Harjanto Halim
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending