Connect with us

Kecanduan smartphone jadi masalah sosial serius belakangan ini. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menggunakan ponsel membuat penggunanya terisolasi. Mereka lebih memilih hidup di dunia smartphone dan cenderung mengabaikan kehidupan di lingkungan fisik terdekatnya.

Ada banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk menjelaskan masalah itu. Salah satu pendapat menyebut, smartphone merupakan barang baru dalam peradaban umat manusia. Efek kejut yang ditimbulkan oleh kecanggihan smartphone belum habis hingga saat ini. Terlebih, produsen terus-menerus menawarkan fasilitas baru sehingga penggunanya selalu ditawari pengalaman baru yang mengasyikan.

Orang-orang dewasa saat ini (berusia di atas 20 tahun) adalah orang dewasa yang lahir sebelum tahun 2000. Saat mereka lahir dan kanak-kanak, smartphone masih menjadi benda langka. Di Indonesia, bahkan mungkin belum ada. Artinya, orang-orang dewasa saat ini sebenarnya baru mengenal smartphone belum cukup lama. Karena itulah, sisa-sisa kekagetannya belum hilang.

Techinasia mencatat, smartphone versi sederhana memang sudah mulai diproduksi pada 1994 ketika perusahaan komputer IBM memperkenalkan IBM Simon Personal Communicator. Tahun 1996 Nokia memperkenalkan Nokia 9000 Communicator. Namun revolusi smartphone betul-betul baru dimulai ketika RIM memperkenalkan Blackberry pada 2002. Setelah itu, smartphone berkembang siginfikan dengan keluarnya Android dan iPhone.

Efek kejut dapat terjadi dalam aneka rupa. Dalam bentuk yang sangat harfiah, efek kejut terjadi ketika seseorang mendengar suara keras, melihat sesuatu yang baru, atau menemukan sesuatu yang di luar perkiraannya. Dari sekian banyak bentuk efek kejut, terdapat pola yang menunjukkan bahwa efek kejut melahirkan perubahan perilaku.

Kejutan adalah stimulus yang mendadak, tidak disangka, dan biasanya cukup kuat. Ketika menerima stimulus itu, orang akan meresponnya dengan perilaku yang tak direncanakan. Ketika kaget, misalnya, ada teriakan yang spontan. Ketika kejutan itu mengharukan, misalnya, ada tangisan yang juga spontan. Respon semacam itu muncul secara biologis, tidak melalui saringan nilai.

Kecanduan smartphone menunjukkan pola keterkejutan serupa. Namun pada kasus smartphone, keterkjutan tidak disebabkan oleh stimulus yang diterima secara mendadak oleh alat indera. Keterkejutan smartphone lebih menyerupai keterkejutan budaya. Karena itulah, respon “kekagetannya” relatif awet dan terekspresi dalam perilaku budaya. Keterkejutan budaya melahirkan perubahan perilaku yang membudaya.

Avi Itskovits dari Gmedia menyebutkan, kepekaan smartphone (sense of phone) manusia telah berkembang melebihi kepekaan sosial pengguna smartphone. Itu tergambar dari dorongan untuk selalu mengecek pembaruan dalam smartphone, baik berupa pesan masuk maupun notifikasi di media sosial. Ketika ada dering pemberitahuan, dorongan untuk mengecek smartphone lebih besar daripada dorongan untuk ngobrol dengan orang di sekitar.

Mengutip Albrecht Schmidt, Itskovits berhipotesis bahwa smartphone menyediakan terlalu banyak hal melabihi hal yang diharapkan penggunanya. Aplikasi, game, akses internet dan fasilitas lainnya menyediakan tantangan yang tak terbatas. Di balik layar smartphone tersimpan dunia yang amat luas dan selalu menyediakan kebaruan. Kondisi itu memantik penasaran dan rasa tertantang yang terus-menerus. Akibatnya, pengguna smartphone tidak pernah merasa cukup. Semakin masuk semakin ia tertantang untuk masuk lebih dalam.

Dengan sebab yang rumit, jelas tak gampang mengobati “sakit” kecanduan smartphone. Lebih-lebih karena penyakit ini telah menjadi penyakit sosial, semacam wabah yang menyerang seluruh lapisan masyarakat. Untuk benar-benar menyelesaikannya, diperlukan keputusan yang radikal dari diri pengguna.

Ada kawan yang memutuskan kembali ke ponsel lama (yang fasilitasnya hanya telepon dan pesan singkat) agar kecanduannya tak makin parah. Ada pula yang melepas smartphone selama sepekan dua pekan untuk menikmati hubungan sosial yang hilang karenanya.

Tetapi bagi masyarakat perkotaan, solusi itu tampak ekstrim dan mengancam produktivitas. Salah satu langkah yang moderat – barangkali – adalah membedakan secara tegas konsep “penting” dan “menarik”. Jika sebuah urusan penting, boleh dikerjakan dengan smartphone. Jika hanya menarik, jangan lakukan.

Rahmat Petuguran
Artikel ini ditulis untuk majalah Merah Putih

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending