Connect with us

News

Ketika Band Kampus Mulai Nge-Pro

Published

on

MESKI berlabel LPTK Unnes ternyata banyak menghasilkan seniman. Di Jurusan Seni Musik, yang bernaung di bawah Fakultas Bahasa dan Seni, misalnya, sejumlah band mahasiswa lahir di sana. Mereka tidak hanya pentas di kelas, tapi mulai merambah dunia profesional.

Rasytamasya Band adalah salah satu band yang mulai mencicipi hasil keringat sendiri. Gilang, sang gitaris, menuturkan, sejak terbentuk pada 2008, sudah berkali-kali bandnya manggung di luar. Selain di kafe, Rastamasya sering ikut festival. Di Pekalongan Desember tahun lalu misalnya, ia mewakili Kota Semarang dalam sebuah pertemuan komunitas regae Se-Jateng dan DIY.

Rastamasya awalnya lahir dari kongkow-kongkow mahasiswa Seni Musik Unnes. Dari jagongan itu ,mereka kemudian berinisiatif membuat band. “Saat itu kami cuma ber enam, cuma gitar, drum, bas, vokal, keyboard, dan djimbe,” kata Gilang. Setelah sempat bongkar pasang personil, Rastamasya kini beranggota 9 orang.

Vidia, sang drumer, kemudian ditunjuk menjadi manager. Dia bertugas mengurus jadwal manggung, tarif manggung, sampai pembagian honor. Sebab, honor manggung biasanya disihkan untuk kas. “Itu buat sewa studio, beli alat juga,” lanjutnya.

Sejak eksis di jalur musik, setidaknya sudah 6 lagu yang Gilang dan teman-teman ciptakan. Sebagian, diakui Gilang masih bertema cinta. Beberapa lagu lainnya, masih dalam proses pengerjaan. Ada yang baru ditulis, ada yang sudah masuk proses aransemen.

Soal bayaran, Gilang berujar, tidak saklek. Mereka tidak pernah menetapkan tarif. “Tergantung acaranya saja. Kalau acaranya besar, ada sponsornya ya kami minta besar. Tapi kalau acaranya kecil, ya alakadarnya saja,” kata mahasiswa angkatan 2006 ini. Bahkan, ketika harus mengisi acara di kampus, mereka rela tidak dibayar. “Itu buat seneng-seneng aja,” lanjutnya.

Band lainnya, Silver Queen, punya strategi berbeda soal honor yang diterimanya. Band yang digawangi Adi, Nafis, Teguh, Prian, Tejo, Dias, Hesal dan Brianda menerima honor sesuai durasi main. Semakin lama, kata Adi, honornya semakin besar. “Tapi perbedaan antar jam kan juga tidak terlalu jauh,” lanjutnya.

Mereka misalnya, pernah diminta mengisi acara wedding dengan honor Rp 1,5 juta, belum termasuk transportasi. Bahkan, mereka juga pernah menhibur pengunjung sedekah laut di sebuah pantai di Rembang. Hingga kini mereka memang masih membawakan lagu-lagu orang lain. “Kita bawakan yang biasanya lagi hits,” lanjut Adi.

Silver Queen mengaku, memilih top fourty karena paling diminati. Anak-anak, remaja, hingga orang tua suka dengan lagu-lagu pop melayu itu. Karena itu, Silver Queen biasanya terus mengupdate stok lagunya. “Kalau ada lagu baru, kita dengar dulu, lalu kita pelajari, terus kita mainkan secara akustik,” kata Adi. “Kalau sedang di panggung kita kan improvisasi, ndak plek dengan band aslinya,” lanjutnya.

Strategi berbeda digunakan Band Senggol Tromol, yang sengaja fokus pada lagu-lagu dangdut. Awal berdiri mereka memilih dangdut keroncong. Namun karena jenis musik itu tidak cucok untuk goyang, mereka beralih ke dangdut. Lagi pula, kata Seno, pentolan Senggol Tromol, “Dangdut keroncong perlu alat sound sendiri, jarang tersedia.”

Strategi itu terbukti berhasil. Untuk ukuran band kampus, Senggol Tromol termasuk ramai order. “Biasanya dari kampus ke kampus. Kadang di kafe, di sekolah-sekolah di Demak dan Kendal juga sering,” katanya. Ia juga pernah manggung di E-Plaza dalam sebuah acara yang dihelat para penjual martabak.

Senggol Tromol punya pengalaman menarik saat manggung di salah satu tempat hiburan di Semarang. Seno, bercerita, ia dan teman-temannya pernah dicut ketika nyanyi. Ceritanya, band beraliran dangdut ini diorder event orginzer dalam sebuah acara para penjual martabak. Pengelola gedung ternyata tidak mengizinkan mereka menyanyi dangdut. Padahal, audience mereka senang berjoged. “Kami tidak diizinkan pentas petugas gedung. Tapi kami lanjut saja,” katanya, sambil tertawa.

Baik Gilang maupun Adi ingin hobi nge-bandnya dilanjutkan dalam karir yang lebih serius. Bahkan, menurut Gilang, Rastamasya mulai merintis karir profesional dengan membuat rekaman. Lagu-lagu mereka sudah didokuemntasikan dalam kepingan CD. Ia bekerja sama dengan sebuah studio rekaman di Semarang untuk membuat demo. “Rencananya kita mau indie dulu saja, biar bebas,” katanya.

Gilang yakin, segmen pasar musik reage di Indonesia masih potensial. Komunitas reage sudah tersbar di pelosok tanah air, tapi band yang muncul belum banyak. “Pasaran reage kan memang di komunitas, tidak seperti jenis musik lain,” katanya.

Namun Seno berpendapat lain. Ia ingin bandnya berjalan apa adanya dulu. “Teman-teman kan punya rencana sendiri-sendiri. Kalau sudah lulus, ndak tahu nanti,” katanya. “Mungkin akan bentuk banda baru. Yang jelas say engin aminkan musik-musik daerah,” lanjut mahasiswa yang mulai mencipta lagu sejak SMA ini.  PortalSemarang.com

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. rastamasya

    May 8, 2011 at 5:18 am

    Download lagu rastamasya di 4shared,,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending