Connect with us

Terbaliknya simbol bendera Indonesia dalam Sea Games 2017 direspon secara mengejutkan oleh masyarakat  Indonesia. Ekspresi kemarahan bertebaran dengan aneka variasi. Ekspresi itu menunjukkan pola bahasa perlawanan yang sejatinya tak sehat bagi pergaulan antarbangsa.

Bahasa perlawanan merepresentasikan kondisi batin penuturnya yang marah. Bahasa jadi saluran ekspresi untuk tiga tujuan sekaligus. Pertama, menyalurkan energi yang membuncah agar tak menjadi beban. Kedua, membangun solidaritas kelompok sendiri. Ketiga, menyerang pihak yang dipersepsi sebagai kelompok luar (outsider).

Kecenderungan mengungkapkan gejolak batin adalah kecenderungan yang alami dan sehat. Berbicara adalah mekanisme psikologis yang lazim di berbagai sistem kebudayaan. Tetapi ketika gejolak batin itu terekspresi negatif, ada berbagai konskuensi sosial yang akan mengikutinya. Salah satu konskuensi itu adalah respon negatif balasan dari pihak luar yang memungkinkan komunikasi semakin tegang.

Di media sosial, ekspresi bahasa perlawanan yang ditunjukkan publik Indonesia semakin variatif dan tajam. Ada yang menggunakan tulisan, meme, ada pula yang menggunakan audiovisual. Tak cukup di jagat maya, ekspresi bahasa perlawanan juga tumpah dalam bentuk fisik. Sekelompok orang dari Laskar Merah Putih, misalnya, menggelar dmeonstrasi di depan Kedubes Malaysia di Jakarta untuk memprotes insiden terbaliknya bendera (Suara Merdeka, 22/8).

Ekspresi perlawanan itu sejatinya kontradiktif dengan citra diri bangsa Indonesia yang dibangun sejak lama. Dalam berbagai kesempatan, Indonesia mengaku sebagai bangsa yang ramah. Ekspresi “Ganyang Malaysia” justru menunjukkan kondisi sebaliknya. Sebagian besar dari bangsa Indonesia tetap saja marah, meskipun panitia Sea Games 2017 sudah minta maaf secara resmi.

Nasionalisme Simbolik

Kemarahan publik Indonesia sejatinya menggambarkan mekanisme pergaulan antarbangsa yang rumit. Setiap negara memiliki konsep nasionalisme internal, sebuah asumsi tentang kedirian bangsa dan negara. Di banyak negara, nasionalisme adalah spirit yang suci, satu level di bawah spirit agama. Ketika rasa nasionalismenya terganggu, sebuah bangsa cenderung meresponnya secara serius.

Nasionalisme sendiri, menurut Anderson (1983), sebuah konsep imajiner yang dibentuk sebagai proyek politik. Pada abad 19 banyak terbentuk negara-negara baru yang didasari oleh kesamaan nasib sebagai sesama kelompok terjajah. Mereka memiliki latar kesukuan, ras, dan agama berbeda, namun bersatu karena harus menghadapi penjajah yang sama. Ketika perjuangan melawan penjajah berhasil, mereka membentuk negara yang tidak didasarkan oleh kekerabatan dan agama melainkan kesepakatan politik.

Negara baru itu kemudian menghidupkan perangkat-perangkat sosial untuk membangun solidaritas politik. Tujuannya, membuat jutaan orang yang tidak pernah saling kenal dan bertemu memiliki ikatan emosional sebagai entitas yang satu. Selain kesepakatan-kesepakatan politik dalam bentuk undang-undang, dibuatlah lambang-lambang yang dikonstruksi sebagai identitas bersama. Selain bendera negara, hampir setiap negara memiliki lambang negara dan lagu kebangsaan.

Sebagai lambang (symbol), bendera negara dikonstruksi secara sosial sebagai representasi nilai kebangsaan. Simbol menjadi metafora (jembatan) agar imaji keindonesiaan yang abstrak dapat dihadirkan dalam bentuk fisik yang dapat dijangkau alat indra. Fungsi bendera sebagai alat reprsentasi inilah yang membuatnya memiliki nilai simbolik jauh melebihi fungsi fisiknya. Bendera dapat membangkitkan semangat, heroisme, dan perasaan patriotik yang membuncah dalam hati konstituennya.

Mekanisme sosial atas simbol itu melahirkan nasionalisme. Satu sisi, nasionalisme membawa dampak positif. Orang-orang yang tak pernah bertemu dan saling kenal merasa menjadi satu keluarga, saling bantu sama lain, saling menguatkan satu sama lain. Tetapi nasionalisme juga memiliki sisi gelap, yaitu terbentukan ekslusivitas. Penduduk satu negara cenderung menganggap diri secara ekslusif dan memandang penduduk negara lain sebagai pihak lain.

Soekarno menyadari potensi sekaligus sisi gelap nasionalisme itu. Karena itulah, ketika berpidato dalam Sidang BPUPKI untuk merancang dasar negara, ia menyandingkan prinsip “kebangsaan” dengan “internasionalisme’ sebagai dua konsep yang tak terpisahkan. Ia belajar dari bangsa-bangsa terdahulu yang terjebak pada nasionalisme sempit (chauvinisme) sehingga cenderung bersifat memusuhi bangsa lain. “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa,” katanya.

Menuju Bahasa Perkawanan

Ekspresi perlawanan terhadap Malaysia adalah buah masam yang dipetik dari pohon nasionalisme. Buah masam itu cenderung destruktif  jika dihadirkan secara berlebihan. Relasi antarbangsa yang sudah dibina demikian lama dengan susah payah, justru bisa ternodai. Masalah sederhana yang mestinya bisa diselesaikan dengan permintaan dan penerimaan maaf, bisa berlarut-larut. Ekskalasinya semakin luas, misalnya, sampai pada ajakan boikot, razia, bahkan (meskipun kemungkinannya sangat kecil) pemutusan hubungan diplomatik.

Dalam kondisi seperti inilah bahasa perlawanan harus dikurangi intensitas dan frekuensinya, diganti dengan ekspresi bahasa perkawanan yang lebih menyejukkan. Penyelenggaran Sea Games dan Kerajaan Malaysia sudah menyampaikan permohonan maaf. Presiden Joko Widodo sudah menerima permintaan maaf itu. Kesejukan yang ditunjukkan para pemimpin itu seyogyanya direspon dengan ekspresi perkawanan oleh pihak lain.

Bangsa kita memiliki pengalaman menggunakan bahasa perkawanan sebagai sarana meredakan ketegangan sosial. Saat hari Raya Idul Fitri, misalnya, semua orang mengaku salah dan meminta maaf kepada pihak lain. Ketegangan sosial dan politik yang mencapai titik didih pun bisa segera reda saat Idul Fitri tiba. Pada momentum itu, tiap-tiap pihak menunjukkan ekspresi positif yang mendekatkan dan menyejukkan.

Pola semacam itu bisa digunakan untuk meredakan ketegangan antarbangsa ini. Kita bisa mulai dengan kembali menggunakan atribusi positif: bangsa serumpun, tetangga dekat, saudara jauh, dan semacamnya. Lagi pula, baik secara geopolitik, ekonomi, maupun kultural Indonesia dan Malaysia memang tak bisa saling terpisah. Hubungan keduanya seperti Tom dan Jerry, juga seperti sopir truk antarkota dan istrinya: cedhak padu, adoh rindu.

Rahmat Petuguran,
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM
Penulis buku Politik Bahasa Penguasa

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending