Saat wabah mematikan menyebar seperti sekarang adalah waktu paling tepat memahami cara bagaimana tubuh didisiplinkan.
Wabah covid-19 telah memaksa orang mengurung diri di rumah, menghentikan sebagian besar aktivitas ekonomi, bahkan mengubah tata cara ritual peribadatan.
Tubuh menjadi tidak berdaya. Hilang keperkasaannya.
Ketidakberdayaan tubuh bukan disebabkan oleh kehadiran covid-19 secara aktual. Karena keberadaannya tak kasat mata, virus ini tak benar-benar diketahui ada dan tidaknya (kecuali kalau kita pakai alat).
Yang membuat tubuh hari lumpuh keperkasaannya adalah pengetahuan tentang virus ini. Tubuh ditaklukkan oleh pikiran, oleh pengetahuan tentang virus, bukan oleh virus itu sendiri.
Bagi sudara-saudara yang sudah positif terpapar covid-19, tentu lain urusannya. Tubuh memang tumbang oleh serangan fisik virus.
Nah, keperkasaan pengetahuan sehingga menaklukkan miliaran tubuh untuk tetap berada di rumah adalah fenomena yang luar biasa.
Ini peristiwa otentik yang dengan amat gamblang sebuah pameo lama: knowledge is power.
Bagaimana pengetahuan bisa memiliki keperkasaan semacam itu? Mungkinkah pengetahuan itu memiliki tandingan yang membuat keperkasaannya memudar?
Bagaimana memastikan bahwa pengetahuan yang mendisiplinkan tubuh kita hari ini adalah pengetahuan yang benar?
Pertanyaan-pertanyana itu terlintas setelah pagi tadi saya membaca kembali “Teknologo-Teknologi Diri” karya Michele Foucault. Karya ringkas yang bernas.
Di situ ia memaparkan sejarah pendisiplinan tubuh oleh pengetahuan telah dimulai pada era Helenistik.
Pada masa itu ada ungkapan “epimelesthai sauton” atau rawatlah dirimu.
Nasihat itu konon muncul sebelum ungkapan lain sejenis yaitu “gnoti sauton” atau kenalilah dirimu muncul.
Pada era itu, nasihat rawatlah dirimu lebih tinggi dibandingkan kenalilah dirimu. Ini karena mengenali diri adalah bagian tak terpisahkan dari merawat diri. Agar orang bisa merawat diri, orang perlu pengetahuan tentang diri.
Kaitan antara mengenali diri dan merawat diri inilah yang menghubungkan pengetahuan dan tubuh. Hubungan keduanya sekaligus bisa mendudukkan bagaimana pengetahuan bisa mendisiplinkan tubuh.
Tapi, perawatan diri dalam konteks ini tidak terbatas pada tubuh sebagai objeknya. Kaum Stoa terutama menggaribawahi bahwa perawatan diri justru harus dilakukan terhadap jiwa.
Mungkin penegasan itulah yang membuat sebagaian besar ritual perawatan diri itu berdimensi ke dalam daripada ke luar.
Misalnya, perawatan diri dilakukan melalui retret, menulis, mengadministrasi kelakuakn baik dan kelakuakn baik, dan melakukan kegiatan alam.
Retret berari “usaha memisahkan diri dari dunia ramai untuk mencari ketenangan batin”. Tampaknya ritual ini lahir dari kesadaran bahwa kegiatan dunia luar telah membuat manusia mengabaikan jiwanya.
Orang sibuk bekerja, berpolitik, bermasyarakat hingga lupa menyapa sesuatu yang “ada dalam diri” yaitu jiwa.
Dengan melakukan retret orang berusaha menyapa kembali diri yang lama diabaikan. Kepada jiwa itulah manusia bisa mempertanyakan banyak hal yang penting dalam hidup.
Menulis juga merupakan metode perawatan diri yang populer pada masa itu.
Saat orang menulis orang berusaha menata mempertanyakan pengetahuan lama, mengevaluasi validitasnya, dan barangkali mengasahnya menjadi pemikiran baru yang berharga. Karena itulah, menulis bisa menjadi metode perawatan diri.
Metode ketiga adalah mengadministrasi tindakan dengan memilah mana yang telah dilakukan dan mana yang harus dilakukan. Usaha ini diperlukan agar tindakan-tindakan manusia menuju tindakan yang benar sesuai konsep moral tertentu.
Adapun metode keempat adalah melakukan kegiatan alamiah. Pergu ke gunung, menyusuri sungai, berkemah, adalah perawatan diri karena mampu meleburkan tubuh pada zat-zat alamiah penyusunnya.
Di masa modern sekarang, ketika sains medis dan kejiwaan telah berkembang demikian pesat, nyaris tak ada lagi dikotomi mana yang lebih penting antara keduanya. Tubuh penting, begitu pula jiwa.
Karena tubuh penting ia harus dilindungi dari subjek luar yang berakibat destruktif terhadapnya.
Jiwa juga penting sehingga harus dihindarkan dari kekuatan tertentu yang dapat merusaknya.
Pengetahuan kita tentang virus adalah satu-satunya hal yang memungkinkan manusia mengurung diri di rumah dalam beberapa pekan terakhir. Pengetahuan itu seperti teknologi diri yang membuat manusia – dengan susah payah – mampu menaklukkan hasrat alamiahnya untuk bergerak dan bepergian.
Bagaimana bisa pengetahuan itu menjadi lembaga abstrak yang demikian perkasa? Mungkinkah pengetahuan itu diveluasi oleh pengetahuan lain yang lebih perkasa?
Bahkan lebih radikal lagi, bagaimana kita bisa memastikan pengetahuan kita tentang tubuh dan virus hari ini adalah pengetahuan yang benar?
Saya tak bermaksud melakukan gugatan. Saya cuma melakukan senam pemikiran sebagai bagian dari perawatan diri. Epimelesthai sauton!
Rahmat Petuguran
Sumber gambar: koranseruya.com
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Lowongan9 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus12 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim