Connect with us
Hikmah cerita Malin Kundang itu sederhana. Saking sederhananya, itu bisa diungkapkan dalam satu kalimat pendek: hormatilah ibu.
 
Tapi juru kisah Malin Kundang tak mau menulis nasihat pendek yang bernada memerintah itu. Ia menulis cerita yang unsur-unsurnya lengkap. Ada tokoh, ada setting, ada plot, juga konflik.
 
Kemampuan juru kisah itulah yang membuat cerita Malin Kundang awet. Kisah itu membuat orang-orang suka mendengar atau membacanya.
 
***
 
Keterampilan menjadi juru kisah itulah yang dimiliki Malcolm Gladwell. Seperti dalam buku terdahulunya, ia memeragakan seni berkisah yang ciamik dalam buku Talking to Stranger.
 
Seperti kisah Malin Kundang, amanah dalam Talking to Stranger sebenarnya sederhana:
 
Pertama, menganggap semua orang tak dikenal jujur kadang merupakan kesalahan.
 
Kedua, kita keliru mengenali orang asing karena ada ketidaksinkronan antara jati diri dengan identitas yang tampil.
 
Ketiga, usaha mendapatkan informasi yang benar dari orang asing kadang menjadi usaha dalam mengacaukan informasi tersebut.
 
Saya kira cuma itu gagasan besar yang ingin Gladwell sampaikan.
 
Tapi dia adalah juru kisah sebagaimana juru kisah Malin Kundang. Dia ogah membuat nasihat ringkas. Ia memilih menulis kisah dalam buku setebal 358 halaman.
 
Ia menghadirkan aneka tokoh dengan karakter dan konfliknya masing-masing: Sandra Bland yang malang, Ana Montes (agen CIA yang ternyata bekerja untuk Kuba), Jerry Sandusky (seorang pedofil), Brock Turner yang suka mabok, sampai Amanda Knox ketiban sial dihukum untuk pembunuhan yang tak pernah dilakukannya.
 
Saat membaca buku Gladwell saya merasakan energi asing yang tak biasa. Entah jenis energi apa, tapi itu jenis energi yang mendorong saya terus membaca.
 
Energi itulah yang membuat buku itu seperti menempel dalam genggaman saya sejak halaman-halaman pertama saya membacanya.
 
Itu bukan energi magis. Energi itu adalah antusiasme yang secara teknis bisa telusuri muasalnya.
 
Dan kemungkinan besar, asal muasal dari antusiasme itu adalah tekniknya berkisah.
 
Gladwell punya cara tak biasa menjelaskan sesuatu. Itu yang membuat ceritanya menawan.
 
Dia bertingkah ambigu seperti pedagang di pasar tradisional. Di satu sisi ingin menarik pembeli tapi di sisi lain bertingkah seperti tidak membutuhkan pembeli agar dagangannya tak ditawar terlalu murah.
 
Di satu sisi Gladwell meyakinkan pembacanya bahwa kisah yang ditulisnya akan sederhana tapi di sisi lain ia memaksa pembacanya untuk berpikir menyusun teka-teki.
 
Teka-teki dalam kisah Gladwell dibuat dengan cara memberi bocoran (semacam trailer) tentang betapa menariknya sebuah persoalan. Tapi persoalan itu baru akan terjawab kalau pembaca menyelesaikan seluruh bagian: bab demi bab, halaman demi halaman.
 
Bab pertama adalah bagian terpenting dalam seluruh ceritanya. Tapi bab pertama sengaja ditahan dan pertanyaan-pertanyaan tentangnya baru akan muncul di bab terakhir.
 
Tapi pembaca juga tidak bisa melompat dari bab pertama ke bab terakhir. Pembaca yang nekat seperti itu tidak akan mendapat jawaban apa pun.
 
Strategi itulah yang membuat pembaca, entah suka rela atau terpaksa, menyusuri bab demi bab, halaman demi halaman.
 
Cara berkisah seperti itu mungkin tampak sederhana. Tapi ia tak mudah ditiru.
 
Sebab, penulis harus tahu batas minimal rasa penasaran pembaca yang membuatnya berniat terus membaca, sekaligus tahu batas atas rasa penasaran itu agar tidak sampai menjadi kejengkelan.
 
Di beberapa subbab memang tak terhindarkan kesan berbelit-belit. Tapi itu tak cukup membuat saya – sebagai pembaca – merasa mual lantas meletakkan buku ke dalam rak.
 
Begitulah cara Gladwell berkisah. Ia seperti pengelola kasino.
 
Di satu sisi ingin mendapat untung banyak dengan membuat pelanggannya kalah. Tapi di sisi lain ia berusaha menjaga agar pelanggannya tak sampai bangkrut agar mau berjudi lagi di lain kesempatan.
 
Cerdik memang.
 
Rahmat Petuguran

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending