Connect with us

News

Anis Baswedan: Mari Jadi Bagian Dari Solusi

Published

on

YAYASAN Indonesia Mengajar (YIM) kembali mengajak anak muda Indonesia yang memiliki kepedulian pada dunia pendidikan untuk bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM). Ketua Yayasan Indonesia Mengajar Anies Baswedan, Jumat pagi tadi menyosialisasikan gerakan yang telah dimulai beberapa tahun lalu ini di Undip.

GIM, kata Rektor Universitas Paramadina itu, ingin menjadi bagian dari solusi di tengah berbagai persoalan pendidikan. Sebab, menurutnya, salah satu persoalan yang sedang dihadapi adalah tidak meratanya persebaran guru. Di kota-kota besar di  Jawa, jumlah guru melimpah, namun di luar Jawa masih kekurangan.

“Gerakan Indonesia Mengajar tidak berpretensi menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan. Kita tidak mampu dan berminat melakukan itu. Gerakan Indonesia Mengajar ingin menjadi inspirasi. Di tengah berbagai persoalan kita tidak hanya bisa mengeluh, tidak hanya mencerca, tapi bisa menjadi bagian dari solusi,” kata pria yang pernah dinobatkan sebagai salah satu dari 100 ilmuwan berpengaruh dunia versi Foreign Policy ini.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, selama ini bangsa Indonesia terlalu sering mengeluh dan mengecam, lebih-lebih menyikapi kondisi pendidikan negeri ini. Sebab, hampir semua orang merasa tahu dan berkepntingan dengan dunia pendidikan. Pasalnya, hampir setiap orang merasa berkepintingan dengan pendidikan.

“Kalau bicara perindustrian dan perdagangan, tidak semua orang tahu. Kalau bicara departemen sosoail juga tidak semoa orang tahu program-program sosial. Tapi kalau bicara soal pendidikan, karena setiap orang punya saudara atau ank yang sekolah, semua merasa tahu,” lanjutnya.

Menurut Anis, salah satu persoalan pendidikan yang  saat ini dihadapi indoensia adalah persebaran guru. Meski jumlah guru besar, di daerah-daerah terpencil masih banyak sekolah yng kekurangan guru. Dari situlah Indonesia mengajar ingin mengambil peran. “Caranya, kita ajak anak-anak terbaik di berbagai perguruan tinggi untuk mengajar di daerah terpencil,” katanya. “Tapi apa mau anak-anak terbaik menjadi guru? Itu masalahnya,” lanjut Anies.

“Kita selalu berpikir bahwa pilihan menjadi guru adalah longlife. Mendidik memang tugas seumur hidup, tapi memilih menjadi guru adalah pilihan profesional,” lanjutnya. Pertimbangan itulah yang digunakan Anies dalam menjanakna Gerakan Indonesia Mengajar. “Tugas emngajar hanya satu tahun. Setelah ini anda bisa memilih melanjutkan karir dan cita-cita anda,” lanjutnya.

Lanjut Anis, ada beberapa syarat agar bisa bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Pertama harus sudah lulus, IP di atas 3, punya kepemimpinan, pengabdian, punya semangat mengajar, dan preferensi usia di bawah 25 tahun. “Kenapa kami syaratkan di bawah 25 tahun? Karena cost waktu selama satu tahun bagi yang bersuia 25 tahun tidak terlalu mempengaruhi perjanan karir,” lanjutnya.

Selama ini, kata Anies, GIM mendapat sambutan postif dari anak muda di berbagai daerah. Tidak hanya lulusan baru (fresh graduate), banyak anak muda yng telah bekerja di perusahaan multinasional, menjadi dosen, menjadi guru ikut mendaftar.

“Mereka memiliki kehidupan yang baik di kota tapi memilih meninggalkan kenyamanan itu untuk hidup di pelosok. Bahkan Farhan, seroang penyiar radio, pernah bilang ‘mereka sulit-sulit mendaftar untuk hidup sulit,” lanjut Anies seraya tertawa. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan nominal, peserta terpilih akan memperoleh gaji yang cukup besar. “Kita akan berikan gaji. Jumlahnya cukup besar. yang  jelas jumlahnya tidak terlalu njomplang dengan guru saat ini,” lanjutnya. PortalSemarang.com

Continue Reading
3 Comments

3 Comments

  1. Edi Subkhan

    April 15, 2011 at 6:20 am

    Dilihat secara sekilas jelas tidak ada yang salah dengan GIM, terutama jika dipandang dari kacamata modernitas dan paradigma pendidikan yang mengabdi untuk modernitas. Toh pendidikan dasar di daerah-daerah memang masih butuh tenaga guru yang berkualitas, pun jika dilihat dari visi untuk melahirkan pemimpin masa depan yang humanis dengan riwayat pengabdian pada pendidikan, juga tidaklah salah, karena sekarang kita juga masih miskin pemimpin yang seperti itu. Namun agaknya kita perlu lebih jeli dan kritis dalam melihat program GIM dan sejenisnya—kalau ada lagi, untuk tidak membiarkan cara berpikir “minimalis” dan “mending” dari masyarakat kita.

    Keduanya adalah cara berpikir seperti: mending masih ada yang mau berbuat untuk pendidikan, dan minimal masih ada yang bersedia membuat program seperti itu. Dua cara pikir tersebut pada hakikatnya adalah sama dan akhirnya melunturkan cara berpikir kritis dan progresif, bahwa ada banyak hal yang substansial dan fundamental mestinya bisa dilakukan secara optimal ketimbang program-program tersebut. Dalam dunia pendidikan, cara pikir konservatif tersebut akan menutup ide dan gagasan kritis dan progresif, sekadar contoh seorang guru dengan cara pikir konservatif tersebut akan berpikir: mending masih digaji—daripada tidak, padahal ia berhak atas gaji dan kesejahteraan, akhirnya ia tidak berani menuntut haknya sendiri.

    Kembali pada soal GIM di atas, saya akan menunjukkan beberapa titik fokus, nilai-nilai dan ideologi yang beroperasi di dalam program tersebut. Pertama, titik fokus GIM pada hakikatnya bukanlah pada masyarakat di daerah tempat relawan GIM tinggal, melainkan adalah pada diri pribadi relawan itu sendiri. Sebagaimana dalam visi GIM disebutkan bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan generasi muda yang nantinya akan dapat menempati posisi-posisi strategis, menyiapkan pemimpin masa depan dengan nilai plus memiliki akar riwayat hidup di akar rumput. Narasi yang dibangun adalah narasi para “pengajar muda” tersebut, hal itu bisa dengan mudah ditelusuri dari pemberitaan di media (misalnya Kompas, 30/1/11) yang mengangkat latar belakang dan keluh kesah serta cerita humanis para mereka.

    Sebagaimana kata-kata jargonistik Anies Baswedan, “Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi,” maka titik fokus yang diasah adalah pribadi para “pengajar muda” tersebut. Basis ideologis yang mengasah individu tersebut adalah liberalisme dan humanisme, yang diinginkan adalah terciptanya individu yang kompetitif di tingkat dunia dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai humanisme. Di sinilah GIM sebenarnya juga sebentuk program elite untuk elite, karena yang dicari dan lolos seleksi adalah lulusan terbaik kampus-kampus bonafide di Indonesia, yang “diprospek” untuk menjadi pemimpin masa depan, yakni para birokrat, menteri, CEO perusahaan besar dan sejenisnya. Ini adalah reproduksi sosial kelas elite, sebuah praktik konservasi tata nilai pemahaman modernitas mengenai makna sukses, pemimpin, pusat kebudayaan, dan sejenisnya (Bourdieu & Passeron, 1977).

    Pada diskusi kecil dengan beberapa kawan sesama peminat critical pedagogy, GIM tiada lain digerakkan kecuali oleh hasrat romantisisme dan avonturisme (kepetualangan). Saya sendiri selain melihatnya sebagai bentuk program elite untuk elite, reproduksi sosial kelas elite, konservasi tata nilai pemahaman modernitas, juga memahaminya sebagai praktik riil dari narasi superhero ala Hollywood. Tokoh superhero dari komik Marvel, Superman misalnya, adalah manusia pilihan dengan kekuatan super, ia berasal dari luar Bumi dan menjadi penyelamat Bumi. Narasi superhero memang begitu, dan narasi itulah yang juga sedang dipraktikkan dalam program GIM. Ada orang kota datang (lulusan terbaik dari kampus-kampus terbaik) ke daerah, dielu-elukan (bak pahlawan), digadang-gadang dapat menjadi inspirator.

    Feature curhatan dari para “pengajar muda” yang dimuat di media cetak dan elektronik tersebut adalah penggambaran bahwa mereka berjiwa sosial, humanis, suka menolong di tengah kondisi sosial yang serba kekurangan. Jadi, skenario dan narasi GIM adalah menciptakan “pengajar muda” tersebut sebagai Superman. Sekarang mari bandingkan dengan gerakan pendidikan kritis yang dilakukan para aktivis pendidikan, misalnya gerakan guru di Tangerang dan Garut dalam mereformasi sekolah mereka dari yang semula rawan korupsi menjadi anti-korupsi dengan membangun partisipasi masyarakat; juga lihat pendidikan alernatif anak-anak jalanan di Jakarta dan banyak kota besar dan kampung-kampung terisolir di Indonesia. Titik fokus gerakannya adalah menguatkan fondasi rakyat atau komunitas untuk dapat mengurus pendidikan.

    Aktor dari luar dari simpul-simpul gerakan pendidikan kritis tidak memosisikan dirinya sebagai Superman, melainkan sebagai fasilitator yang terlibat menjadi bagian dari masyarakat yang diberdayakan tersebut. Oleh karena itu, narasi yang dibuat bukanlah narasi masyarakat yang menunggu datangnya Superman untuk menolong dan membereskan problem mereka, melainkan narasi pendidikan—yang oleh Paulo Freire (1990) disebut sebagai—“oleh dan bersama masyarakat” ketimbang “untuk masyarakat”. Implikasi ideologisnya besar, karena pendidikan “untuk masyarakat” memasang subjek di luar masyarakat sebagai yang berkuasa (super), sedangkan pendidikan “oleh dan bersama masyarakat” masyarakat sendirilah yang berkuasa. Memang di program GIM juga terdapat niatan untuk membuat jaringan, tapi jelas tidak akan berjalan karena titik fokusnya bukan masyarakat dan waktunya cuma sebentar (satu tahun).

    Bagi saya, kalau ada yang punya uang begitu banyak, entah dari perusahaan-perusahaan atau milik pribadi, kenapa tidak dilimpahkan pada program-program yang telah dirintis oleh masyarakat sendiri, tapi justru digunakan untuk membuat program baru yang elite untuk elite, titik fokusnya pada individu—bukan masyarakat kolektif, di mana imbas signifikannya nanti kira-kira dapat diprediksi lebih banyak diperoleh oleh individu-individu “pengajar muda” tersebut ketimbang masyarakat daerah yang telah kunjungi dalam petualangan mereka. Jadi betul bahwa nalar individualis, selebritas, citra, superheroisme memang lebih “menjual”.

  2. rahmat

    April 15, 2011 at 11:22 am

    Saya mengautip ceramah AB tadi pagi. Ketika dihadapkan pada kondisi sulit kita diberi dua pilihan; menjadi bagian dari solusi atau membuang energi untuk mencerca dan mengeluh? Sikap AB dengan GIM-nya menurut saya karena dia memilih pilihan pertama. Dia mencoba mengambil porsi dalam kapasitasnya sebagai seorang pendidik. Dengan energi, modal kecerdasan, jaringan, sokongan uang, ia mengambil bagian kecil dari persoalan pendidikan yang naudzubilah banyaknya. Seperti yang dia katakan, GIM tidak berpretensi untuk menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan. “Tidak mampu dan tidak ada niat ke sana,” katanya.

    Saya kira, kenapa GIM lahir dan sejauh ini berterima, karena kondisi menghendaki. Coba kita cermati, pemerintah sepertinya tidak punya energi untuk menjangkau sekolah2 terpencil. Karena itu GIM berusaha menjawab. Terus terang, saya belum punya analisis khusus soal pretensi AB dan tokoh di balik GIM lain selain melengkapi “kerumpangan-kerumpangan” itu. Kalaupun ia ingin membangun klan intelektual di masa yang akan datang, saya pikir justru itu bagus karena akan ada satu kelompok masa yang cukup kuat untuk menggerakan masyarakat.

    Saya pikir amat tidak bijak mengatakan masyarakat terjebak pemikiran “minimalis” dan “mending”. Sebab, masyarakat perlu harapan. Ketika negara sepertinya tidak dapat mewujdukan harapan2 itu, masyarakat akan berharap pada lembaga lain, entah tokoh, NGO, atau apapun bentuknya. Maka, pilihan masyarakat untuk menerima GIM, saya pikir, adalah pilihan yang cerdas dan amat rasional. Katakanlah, anak yang lapar harus menerima pemberian ubi dari tetangganya daripada menunggu keju dari orang tuanya yang tak kunjung datang. Jangan mengabaikan kemungkinan bahwa masyarakat juga punya pertimbangan sebelum menerima guru-guru muda GIM itu.

    Analisi Mas Edi bahwa GIM digerakan hasrat romantisisme dan avonturisme bisa jadi benar. Tapi apa yang keliru dengan itu? Bukankah, selain hasrat untuk survive, hasrat berpetualanglah yang selama ini menggerakan kita dalam berbagai aktivitas? GIM justru coba mengarhkan hasrat itu pada sebuah medan perjuangan yang tepat. GIM tidak mengarahkan anak muda yang ingin mengencangkan ototnya ke tempat fitness, tapi mengarahkan mereka untuk mengangkat kayu bakar. Selama hasrat semacam itu tidak bermetamorfosa menjadi energi negatif, hasrat semacam itu justru harus terus dipelahara. Biarkan anak muda-anak muda itu menikmati hutan selama tidak dengan cara menebangi pohonnya.

  3. Han

    April 16, 2011 at 4:18 pm

    tradisi baru, kalo belum mau dikatakan budaya baru, kita…. suka ngomong yang dirumit-rumitkan . . . mungkin agar menunjukkan kalo pikiran kita itu rumit……..(karena masih menjadi takhayulitas di negeri ini)……… yang semakin rumit pikiran dan bicara kita itu berarti semakin pintar dan hebat kecerdasan akademiknya……….. coba bandingkan jaman perjuangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan lainnya……. yang modal utamanya adalah kejujuran ………. berfikir sederhana tetapi berideologi kebangsaan + kepribadian negeri sendiri…….. realisasi aksinya sederhana…… tetapi hasilnya luar biasa………..

    masih ingat kegiatan mulai “ibu kembar” yang sangat terkenal itu??? itulah Pendidikan Manusia Indonesia . . . . tidak perlu banyak “bercang-cing-cong” tetapi kemuliaan tindakan dengan maknanya itu luar biasa……

    seriuslah, sobat-sobat sekalian…… !!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending