Connect with us

Departemen Penerangan Republik Indonesia pernah melarang sebuah iklan tayang di koran. Sebabnya, koran itu menggunakan petikan puisi Khalil Gibran yang dinilai mengajarkan liberalisme.

Ini petikan puisi yang dimaksud:

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Pelarangan iklan itu menunjukkan bahwa hubungan anak dan orang tua memiliki dimensi politis. Makna atas hubungan itu tak merta ada. Makna terhadapnya dikonstruksi melalui serangkaian tafsir. Adapun aneka tafsir itu berkontestasi berusaha menjadi yang paling legitimate kebenarannya.

Empat Matra

Saya mulai merenungkan itu sejak bulan-bulan pertama kehamilan istri. Saat mendapat kabar bahwa kami akan segera memiliki anak, saya memikirkan makna kehadirannya bagi kehidupan saya.

Anak itu sebenarnya apa bagi orang orang tuanya? Bagaimana makna hubungan anak dan orang tua selama ini didudukkan?

Untuk menjawb pertanyaan-pertanyaan itu, saya menempuh empat matra jalan: biologis, psikologis, sosial, dan budaya.

Hubungan anak dan orang tua pada mulanya adalah bersifat biologis. Itu fakta mentah, bukan tafsir.

Anak lahir berkat mekanisme biologis yang terjadi pascaperkawinan orang tuanya. Mekanisme biologis itulah yang membuat anak memiliki ikatan biologis pula dengan orang tuanya.

Ikatan biologis paling faktual tentu saja dengan ibunya. Anak pernah hidup dalam rahim ibunya sebelum kemudian lahir dan terpisah ketika tali pusarnya diputus.

Adapun dengan ayah hubungan biologis lebih bersifat genetis. Itu bisa ditemukan melalui penelusuran jejak-jejak genetis, entah dalam DNA, kromosom, maupun zat hidup lain yang ada dalam tubuh bayi.

Hubungan biologis itu menjadi bermakna karena dibarengi hubungan psikologis. Ada ikatan emosional antara anak dan orang tuanya.

Ikatan itulah yang membuat anak dan orang tua tetap tertambat meski secara fisik telah terpisah. Beberapa gejala psikologis bersifat instingtif, misalnya kehendak untuk melindungi dan membesarkannya. Artinya, jauh sebelum relasi anak dan orang tua ditafsir melalui serangkaian norma, di antara keduanya telah ada ikatan batin.

Pada saat yang sama, hubungan anak dan orang tua menjadi semakin bermakna karena didudukkan dalam norma-norma sosial.

Hukum sosial yang lahir mendahului kelahiran anak membuat anak dan orang tua menyandang atribusi social. Atribusi itu berkonskuensi terhadap pembagian peran, hak dan kewajiban.

Hampir di seluruh komunitas atribusi “anak” membuatnya memiliki sejumlah hak sekaligus. Anak berhak mendapat perlindungan, makanan, tempat tinggal dan hal lain yang memungkinkannya bertahan hidup, sehat, dan memiliki pengetahuan cukup.

Adapun atribusi sebagai “orang tua” membuatnya diikat oleh serangkaian kewajiban untuk melindungi, menyediakan segala jenis kebutuhan yang diperlukan bayi agar survive dan sehat.

Di luar kewajiban itu, atribusi sebagai “orang tua” juga memberi sejumlah hak misalnya hak untuk memilih cara perlindungan dan pemenuhan hidup si anak.

Karena masyarakat kita sudah demikian kompleks, peran social sebagai “anak” dan “orang tua” memiliki implikasi lanjutan yang tiada hentinya.

Karena saya hidup pada komunitas Indonesia-Muslim-Jawa, implikasi-implikasi social yang mengikuti hubungan saya dengan anak akan banyak sekali ditentuken oleh konvensi-konvensi social yang telah disepakati di komunitas itu.

Menurut hukum Indonesia saya memiliki kewajiban memberi nama anak, mencatatkan kelahirannya kepada kepada negara, memberinya nafkah hingga batas usia tertentu, mendidiknya, dan sebagainya. Pada saat yang sama saya memiliki hak menjadi wali bagi anak saya sebelum anak memiliki kemampuan untuk mewakili dirinya.

Dalam komunitas Muslim, atribusi saya sebagai ayah membuat saya berkewajiban memberinya nama yang baik, mendidikanya, dan kelak menikahkannya.

Sementara sebagai komunitas Jawa jauh lebih kompeks lagi. Meskipun bersifat adat, konvensi-konvensi di komunitas Jawa membuat orang tua memiliki demikian banyak kewajiban, selain hak.

Jauh sebelum lahir misalnya, ada “kewajiban” menyelenggarakan selametan ngapat dan kemudian mitoni. Saat sudah lahir wajib memendam ari-ari, brokohan, sepasaran, puputan, aqiqah, selapanan, dan kewajiban-kewajiban lain.

Kewajiban-kewajiban menurut ajaran Jawa itu tak terpisahkan dengan kenyataan bahwa hubungan anak dan orang tua juga bersifat kebudayaan. Adapun hubungan dalam kerangka kebudayaan biasanya dikomunikasikan melalui symbol.

Itulah yang membuat relasi anak dan orang tua kelak diliputi oleh aneka simbol.

Misalnya dalam pilihan bahasa, anak dan orang tua menggunakan bahasa yang berbeda sebagai symbol perbedaan peran budaya. Pilihan pakaian juga demikian. Sampai pada pilihan cara bertingkah laku.

Karena lahir dan mungkin akan tumbuh di komunitas Jawa, anak saya tidak mungkin terhindar dari kelaziman untuk mencium tangan kami orang tuanya. Ia juga akan dibebani kewajiban sungkem pada hari raya misalnya. Semua itu bersifat simbolik sebagai strategi masyarakat Jawa merawat tatanan hubungan anak-orang tua secara harmonis.

Liberalisme

Sejauh tafsir terhadap hubungan orang tua dan anak didasarkan pada nilai social dan budaya (di Indonesiaa), relasi tersebut akan terus bersifat familisme. Hubungan keduanya tetap anak-orang tua hingga terpisah oleh ajal.

Tipe hubungan familirisme itu bisa juga akhiri dengan mengurangi peran hukum social dan budaya. Dengan mengurangi peran keduanya, relasi anak-orang tua cukup terjalin dalam dua tataran relasi yaitu biologis dan psikologis.

Tipe hubungan yang semata-mata hanya bersifat biologis-psikologis menempatkan anak dan orang tua sebagai sama-sama individu. Keduanya diposisikan sebagai dua organisme dengan status yang sama sebagai makhluk hidup.

Konskuensinya, orang tua harus memberikan anak otoritas sepenuhnya untuk menentukan jalan hidupnya. Anak boleh mencari penghidupan, bertindak, menikah, dan menjalani aktivitas lain sebagai makhluk hidup tanpa mempertimbangkan relasinya dengan orang tua.

Jenis relasi seperti inilah yang agaknya diidealkan dalam bait pertama puisi Khalil Gubran di atas:

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Jika demikian, tipe relasi ini jelas bukan sesuatu yang cocok dengan imaji kekeluargaan manusia Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Peran Negara

Negara memiliki peran dalam pendefinisian hubungan anak dan anak dalam sejumlah aspek sekaligus.

Negara punya peran untuk memastikan hak anak dan orang tua terpenuhi. Itulah yang membuat negara memiliki undang-undang perkawinan yang di dalamnya ada aturan tentang hak perwalian, waris, dan sebagainya.

Negara juga punya peran dalam pendefinisian relasi anak dan orang tua untuk memastikan individu-individu menjadi sumber daya yang bisa dikelola untuk mendukung tercapainya tujuan negara.

Tujuan paling mendasar negara adalah survival dalam jangka panjang. Untuk survival, negara memerlukan regenerasi penduduk. Negara memerlukan kelahiran anak-anak. Tapi di sisi lain opulasinya harus dikendalikan agar tidak menjadi beban demografis.

Di lain waktu negara mengatur bahwa kewajiban menafkahi anak melekat secara individual kepada orang tua. Aturan ini memastikan negara tak perlu mengeluarkan biaya nafkah bagi warga negaranya yan masih belia.

Sama halnya negara (mungkin) mengatur bahwa merawat orang tua adalah kewajiban moril anak-anaknya. Aturan ini akan menghindarkan negara harus mengeluarkan ongkos untuk membiayai hidup warganya yang tidak lagi produktif.

Berbagai peran negara dalam mendefinisikan hubungan anak dan orang tua bisa dilakukan melalui perangkat yang sangat keras: hukum.  Namun negara juga melakukannya melalui perangkat budaya yang lebih lembut: pendidikan.

Peran melalui Pendidikan jauh lebih efektif karena bersifat hegemonik.

Kesadaran tentang peran negara – sebagaimana peran agama dan Lembaga budaya – dalam tafsir terhadap relasi anak dan orang tua adalah kesadaran yang berharga. Kesadaran itu memberi pemahaman awal tentang asal mula makna keluarga, batas-batasnya, dan pergeseran yang mungkin akan terjadi pada mendatang.

Rahmat Petuguran
Ayahnya Ishvara

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending