Connect with us

Buku

Atheis, Entah ke Mana Pula Keyakinan Akan Bermuara

Published

on

Seseorang yang tumbuh dari keluarga yang amat taat kepada agama, sudah bisa diduga, akan tertular taat pula dari keluarga. Namun daripada itu, siapalah yang tahu jika ketaatan itu berubah total oleh perubahan yang dibawa waktu.

Begitulah agaknya nasib Saudara Hasan, tokoh yang dimainkan oleh Achdiat K Mihardja sebagai tokoh utama dalam romannya yang masyhur: Athies. Roman ini kali pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1949, empat sahun saja usai bangsa kita merdeka. Setingnya sendiri terpaut tidak terlampau jauh dari zaman itu, yaitu ketika Belanda masih berkuasa hingga Jepang hampir kalah perang Dunia II.

Tokoh utama dalam novel itu, Hasan namanya, lahir dari keluarga Sunda yang taat beragama. Abahnya, Raden Wira, penganut mistisme Islam. Ilmu semacam itu dipelajarinya dari seorang tokoh agama dari Banten.

Pada mula Hasan tak tertarik dengan apa yang dipelajari orang tuanya. Namun ketika ia beranjak dewasa, yaitu ketika sudah berfungsi betul akalnya, ia memilih untuk mengikuti jejak abahnya. Sudah barang tentu abahnya gembira, sama gembira dengan seorang bocah yang baru mendapat sepeda untuk pertama kalinya.

Atas bantuan orang tuanya itu pulalah Hasan mengenal mistisme Islam. Ia menautkan dirinya dengan Sang Pencipta, yang tak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa, dengan aneka tirakat yang dijalaninya. Jadilah ia pemuda yang setiap kali mendengar azan akan segera ia meloncat dari tempatnya duduk untuk segera ambil air wudu.

Akan tetapi semua itu berubah manakala ia mengenal pemikiran-pemikiran atheis yang diperolehnya melalui Rusli, Kartini, dan kemudian Anwar. Ia meragukan keberadaan Tuhan, Dzat yang sepanjang usianya ia yakini sebagai yang maha ada.

Begitulah Achdiat dengan sangat bersahaja menceritakan nasib Hasan yang malang. Ia terombang-ambing antara keyakinan agamanya dengan keyakinan atheisme yang dipelajari dari kawan-kawanya.

Roman ini sungguh memikat bagi saya, seorang pembaca yang menemui novel ini untuk pertama kali. Demikian terpesonanya saya, bahkan ketika berusaha menuliskan resensi atas buku itu, saya coba-coba meniru gaya bahasanya. Entah, apakah pembaca menyadarinya ataukah tidak.

Ada tiga hal yang sunguh benar membuat roman ini amat istimewa dibaca. Pertama, kalau ada yang bisa saya puji dari cara Achdiat bercerita, adalah kedisiplinannya pada urusan logika. Oleh karena kedisplinannya itulah, Achdiat selalu memperhatikan sebab akibat. Ia disiplin sekali menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, apa penyebabnya. Maka, jadilah novel ini menjadi sangat koheren (se)bagai batu kali yang ditautkan dengan adukan semen demikian caranya.

Di peringkat kedua, bolehlah saya juga memuji pemahamannya yang baik terhadap persoalan ideologi, yang tak lain dan tak bukan menjadi bahasan utama adalam romannya ini. Dialog antartokoh yang dimainkannya, tentang apa itu sosialisme, tentang apa itu kapitalisme, tentang apa itu nihilisme, atau bahkan juga tentang apa itu psikoanalisis, sungguh menunjukkan cakrawala wawasan penulisnya yang demikian luasnya.

Bagi pembaca yang tak terlampau mengerti benar soal-soal seperti itu, penjelasan Achidat sungguh merupakan vitamin yang merangsang kemampuan untuk membaca lebih banyak. Meski pada beberapa bagian, gagasan-gagasannya itu juga terasa sudah basi jika kita tinjau dengan persektif ilmu pengetahuan saat ini.

Pada selanjutnya, sungguh saya juga tak kuasa untuk tidak terpesona kepada cara Achdiat membuat perandaian. Ia membuat aneka perandaian yang sungguh memikat nalar saya sebagai pembaca. Ini sekaligus membantu saja memahami hal-hal yang abstrak adanya, sehingga demikian dekat dan nyata. semakin memikat adanya, karena

Inilah misalnya: ketika Achdiat menggamabrkan posisi tidur Anwar. Ia menyebut: dari posisi sabit, dilurukanlah kakiknya sehingga sabit menjadi linggis. Lantas ia angkat pula tangannya memluk bantal sehingga linggis kini menjadi palu.

Maka, tidak berlebihan adanya jikalau saya merekomendasikan kepada Anda untuk membaca roman ini. Bacalah dengan santai saja. Achdiat tidak memaksa kita untuk berpikir terlalu keras sekalipun persoalan yang diulasnya sungguhlah penting bagi manusia dan kemanusiaan.

Rahmat Petuguran
Pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending