Connect with us

Sejawaran boleh bersikap sibjektif saat menulis sejarah. Namun subjektivitas tersebut terbatas pada pilihan untuk memilih topik tertentu yang diminati dan mengabaikan topik lain yang kurang diminati.

Namun demikian, sejarawan tidak diperkenankan mengusung subjektivisme, yaitu sikap untuk menilai objek sejarah secara sewenang-wenang sesuai seleranya.

Dosen Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tsabit Azinar Ahmad mengungkapkan itu sebagai kritik terhadap penulisan buku “Majapahit Kerajaan Islam” yang belakangan menjadi perhatian khalayak.

Ia mengatakan itu dalam diskusi yang diselenggarakan di Laboratorium Teater Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Unnes, Rabu (5/7) tadi.

Menurut Tsabit, sejarah memiliki dua matra, yaitu sebagai peristiwa dan sebagai kisah. Sebagai kisah, sejarah kerap kali kontroversial karena ditulis oleh orang yang berbeda dengan metodologi yang berbeda.

Namun, ada prinsip-prinsip universial yang harus dipathui sejarawan agar penulisan sejarah tidak dilakukan sesuai seleranya. Salah satu prinsip tersebut adalah dalam pemilihan data.

“Sumber yang paling layak adalah rekaman langsung persitia tersebut, baik berupa nonkebendaan maupun kebendaan. Rekaman tersebut haruslah bersifat sexaman, dapat berupa orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya,” katanya.

Sementara itu, dosen Bahasa Jawa Unnes Widodo Wikandana mempersoalkan sosok Gajah Mada dalam sejumlah referensi lama.

Ia menyebut Gajah Mada disebut dalam Pararaton Bagian ke-9 dan Kidung Sundyana. Namun dalam kidung itu tak disebutkan agama Gajah Mada.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending