Connect with us

Setelah proses pendaftaran calon selesai, pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 akan segera memasuki masa kampanye. Selama masa kampanye, para kandidat akan meyakinkan calon pemilih bahwa dirinya adalah yang paling layak dipilih. Untuk tujuan itulah para kandidat  memainkan bahasa untuk memanipulasi persepsi calon pemilihnya.

Dalam wacana kampanye, setiap tuturan yang diproduksi didesain agar memiliki daya persuasi tinggi. Dengan kata-katanya para kandidat berusaha membangun kesadaran tertentu dalam diri konstituen. Kesadaran yang telah dibentuk memungkinkan calon pemilih dikendalikan untuk melakukan serangkaian tindakan yang diinginkan kandidat.

Pada tahap awal, masing-masing kandidat akan memberikan penguatan dan pujian bahwa pemilih adalah pribadi yang cerdas. Selanjutnya, kandidat akan berusaha membenamkan persepsi bahwa dirinya memenuhi berbagai persyaratan yang dilayak oleh “pemilih cerdas” tadi. Keunggulan personal, rekam jejak, dan program dikemukakan disodorkan disesuaikan dengan kriteria “cerdas” yang dikemukakan di awal.

Jika itu berhasil, kandidat akan merekayasa kesadaran pemilih agar mempersepsi bahwa kandidat adalah sosok yang dapat merepresentasikan kepentingannya. Hasil dari proses ini adalah lahirnya imaji kemenyatuan yang membuat calon pemilih merasa memiliki kedekatan batin dengan kandidat bersangkutan. Perasana akrab, senasib, dan seidentitas akan muncul dalam diri pemilih sehingga ia mempersepsi bahwa perjuangan memenangkan kandidat sama dengan memenangkan kepentingannya.

Jika perasaan senasib telah tumbuh, calon pemilih cenderung bersikap loyal dan  siap digerakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan kandidat. Ketika mencapai tahap ini pemilih tidak ragu lagi berpartisipasi menjadi “relawan”, donatur, atau juru kampanye untuk memastikan calon yang didukungnya memiliki peluang menang lebih besar.

Dalam praktik, skema di atas memiliki variasi yang tidak terbatas. Namun lazimnya, skema di atas dimainkan dengan menggunakan instrumen sosial bernama bahasa. Dengan bahasa, kandidat menyentuh aras logika sekaligus aras rasa. Aras logika berkaitan dengan data, argumentasi, dan pertimbangan untung rugi. Adapun aras rasa berkaitan dengan kesenangan dan sentimentalisme individual dan kelompok.

muslihat-bahasa

Kekuatan Kata

Jauh-jauh hari linguis seperti Searle telah mengemukakan produksi bahasa hampir selalu memiliki dampak ikutan. Ketika seseorang memproduksi tuturan tertentu, ia tidak hanya memproduksi tuturan tetapi juga menggunakan tuturan itu untuk menggerakkan orang lain. Dalam kategori yang dibuatnya, Searle (1965) mendefinisikan ada tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi. Pada tindak tutur ilokusi, dapat diidentifikasi bahwa tuturan memiliki maksud tertentu. Adapun pada tindak tutur perlokusi, dapat diidentifikasi bahwa tuturan memiliki daya menggerakan pihak yang mendengarnya. Dua jenis tuturan inilah yang paling banyak diproduksi dalam wacana kampanye.

Di era terdahulu, para kandidat memainkan kalimat pasif dan aktif dalam negosiasi antara diri dengan calon pemilihnya. Ketika mengabarkan kabar baik mereka menggunakan kalimat aktif agar subjek “aku” atau “saya” muncul. Dengan mengubah struktur gramatikal kalimat menjadi aktif, subjek mendapat perhatian lebih besar daripada topik persoalan sehingga lebih mudah diingat oleh pendengar. Sebaliknya, ketika menyampaikan kabar buruk, para kandidat  cenderung menggunakan kalimat pasif sehingga pendengar lebih fokus pada topik persoalan dan mengabaikan aspek “siapa” yang harus bertanggung jawab.

Meskipun cara lama, kecenderungan narsistik demikian ternyata tetap muncul dalam kampanye mutakhir ini, bahkan dengan variasi dan dampak yang lebih besar. Para petahana, misalnya, cenderung menamai program-programnya yang populis dengan namanya. Di Amerika, misalnya, program jaminan kesehatan bagi warga diberi nama Obama Care. Di Indonesia, pada masa pemerintahan SBY, beasiswa ke berbagai perguruan tinggi terbaik di dunia dinamai Presidential Scholarship.

Selain strategi gramatika, aspek kebahasaan lain yang kerap dieksplorasi dalam kampanye adalah penggunaan pronomina atau kata ganti. Pronomina “kita” paling sering muncul dalam slogan kampanye karena dapat membangkitkan rasa kebersatuan antara penutur dengan mitra tutur. Dengan menyebut “kita”, calon pemilih yang berasal dari kelompok masyarakat bawah dijunjung (dibombongi) seolah-olah satu derajat dengan kandidat yang lazimnya dari kelas elit.

Untuk menyebut orang kedua, kata ganti “Anda” digunakan dalam dua situasi, yaitu ketika kandidat menjanjikan hal-hal baik jika ia terpilih dan mengandaikan hal-hal buruk jika yang terpilih kandidat lain. Pronomina “Anda” memiliki kekuatan perlokutif yang lebih kuat karena bersifat tunggal, menyasar psikologi pemilih orang per orang. Adapun kata ganti “kalian” tidak cukup kuat karena bersifat jamak dan komunal. Strategi ini digunakan dengan memanfaatkan kecenderungan psikologis pemilih yang selalu menempatkan kepentingan pribadi sebagai prioritasnya.

Tiga Pengujian

Kecenderungan muslihat bahasa di atas menunjukkan bahwa kepedulian kandidat terhadap calon pemilihnya lebih banyak yang bersifat semu. Ungkapan-ungkapan patriotik yang diproduksi kandidat hanya menjadi bungkus bagi kepentingan personal dan kelompok yang dikejarnya. Ungkapan dalam kampaunye digunakan untuk kepentingan sesaat, jarang terpelihara ketika kandidat terpilih dan memegang kuasa.

Dalam situasi demikian, calon pemilih perlu menguji bahasa kampanye dalam tiga tahap pengujian. Pada lapis pertama bahasa kampanye pilkada perlu dikonfirmasi kebenarnnya menggunakan data dari sumber lain primer. Jika hasilnya negatif, bahasa kampanye  dapat dipastikan hanya trik berbahasa dan tidak layak dipercaya. Pada tahap kedua, bahasa kampanye perlu ditafsir maknanya dengan mengaitkan tuturan tersebut dengan motif penuturnya. Pada tahap ketiga, bahasa kampanye perlu diuji visibilitasnya dengan mempertimbangkan situasi terkini dan mendatang. Agar dapat dipercaya, bahasa kampanye harus lolos di tiga tahap pengujian tersebut.

Meski merepotkan, pengujian demikian perlu dilakukan agar pemilih tidak terprovokasi bahasa kampanye. Usaha dilakukan sebagai ikhtiar menghindari kekecewaan karena salah pilih sekaligus memperbesar peluang terpilihnya kandidat yang berintegritas.

Surahmat SPd MHum, dosen bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh Suara Merdeka, 10 Oktober 2016

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending