Connect with us

News

Jejak Bahasa Lokal dalam Tradisi Memuleh Gunung dan Simbol Ingkung Putih

Published

on

Asap dupa mengepul, ingkung putih terhidang. Di Dusun Separe, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, anggota KKN GIAT 12 UNNES mengikuti tradisi Sedekah Gunung yang bukan hanya ritual sakral, tetapi juga sebagai panggung bahasa. Setiap ujaran yang diucapkan bukan sekadar tuturan, melainkan warisan leluhur yang memuat jejak sejarah, nilai spiritual, dan filosofi kehidupan masyarakat setempat.

Tradisi Sedekah Gunung atau lebih akrab disebut Memuleh Gunung di Dusun Separe telah berlangsung sejak sebelum tahun 1976 dan masih dijaga hingga kini. Ritual ini dilaksanakan setiap bulan Suro, tepatnya pada malam Jumat Legi atau malam Jumat Wage karena kedua waktu tersebut diyakini sebagai saat yang paling sakral oleh masyarakat setempat.

Keyakinan ini diperkuat oleh pernyataan salah satu sesepuh desa, Pak Suryono yang menyampaikan, bahwa, “Semua makhluk halus hanya mau dipanggil setiap Suro, malam Jumat Legi atau Jumat Wage.”

Tradisi Memuleh Gunung juga memuat ketentuan dalam pembacaan doa yang harus dijalankan sebelum atau saat tradisi berlangsung, yaitu: (1) pemutusan hari berlangsungnya tradisi; (2) menyebut orang-orang yang ingin didoakan; (3) mendoakan orang yang telah meninggal; (4) mendoakan orang yang masih hidup; dan (5) doa tentang keselamatan diri.

Bagi masyarakat setempat, tradisi ini adalah bentuk nyelameti atau upaya memohon keselamatan dan ketenteraman, baik bagi manusia maupun lingkungan sekitarnya. Dalam bahasa Jawa, tradisi ini juga disebut Memuleh Gunung yang berarti menghormati dan “menyambangi” gunung sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga.

Tradisi Memuleh Gunung ini dilaksanakan langsung di lokasi gunung. Beraneka ragam makanan dihidangkan, lalu disantap bersama oleh warga. Menu yang disajikan pun khas dan penuh makna, yakni ingkung putih jantan, kering tempe, tahu bacem, dan urap sebagai pelengkap yang terdiri dari sawi putih, sawi hijau, dan kacang panjang.

Setelah makan bersama, daun-daun alas makan dibiarkan begitu saja. Hal tersebut sebagai bagian dari persembahan terakhir kepada lelembut dan menunjukkan adanya simbol bahwa manusia telah “berbagi” dengan alam dan para penjaganya.

Masyarakat Dusun Separe percaya bahwa dalam kehidupan ini, ada makhluk halus atau lelembut yang juga mendiami alam. Oleh karena itu, dalam Sedekah Gunung, berbagai bentuk sesajen disiapkan, bukan hanya sebagai simbol syukur, tetapi juga sebagai “makanan” untuk lelembut agar mereka tidak mengganggu manusia dan tetap hidup berdampingan dalam harmoni. Simbol yang paling penting dari tradisi ini adalah ingkung putih jantan, yaitu ayam kampung berwarna putih yang disembelih dan dimasak utuh.

Tidak semua ayam bisa digunakan, warna putih dipilih karena melambangkan kesucian, sementara ayam jantan dianggap membawa kekuatan. Bagian yang digunakan sebagai sesajen adalah darah, bulu, dan kukunya. Darah ayam, misalnya menjadi bagian penting dari sesajen yang diletakkan dalam batok bonglu (tempurung kelapa berlubang tiga). Bagian-bagian ayam tersebut dianggap sebagai permintaan khusus dari lelembut itu sendiri.

Selain ingkung putih, isi sesajen pun sangat beragam dan memiliki makna simbolis. Ada bucu (nasi kerucut), ketan salak sundul langit (ketan dengan dendeng sapi di atasnya), wajik atau gemblong, rujak degan, rujak tape, tape dengan gula, serta campuran kelapa dan gula. Tak ketinggalan, ada janur, rokok Sukun, dan kopi bubuk.

Semua ini disusun dengan saksama karena masyarakat percaya bahwa sesajen yang lengkap akan mendatangkan ketenangan dan mencegah gangguan dari makhluk halus. Sukun dan janur bahkan digunakan sebagai batas simbolik agar tidak ada yang merusak atau “merusuh” persembahan.

Tradisi ini menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap alam dan dunia tak kasatmata, serta bagaimana bahasa, simbol, dan tindakan ritual menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Kepercayaan terhadap makhluk halus bukanlah bentuk takhayul semata, melainkan manifestasi kearifan lokal yang membentuk kesadaran sosial.

Adanya inventarisasi dan dokumentasi tradisi Memuleh Gunung ini, menjadikan masyarakat tidak hanya mengarsipkan warisan leluhur, tetapi turut memberi ruang baru bagi generasi muda untuk mengenal, memahami, dan merawat kearifan lokal yang terjalin erat dengan alam dan spiritualitas Jawa. Dokumentasi ini menjadi langkah penting sebagai bentuk perlawanan halus di tengah pusaran modernisasi yang kerap menggerus nilai-nilai lokal dan menjadi tameng yang melindungi kearifan lokal dari kepunahan.

Kontributor: Atika Dewi dan Rifda Nabila

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Ia menyelesaikan Pendidikan S1 di Universitas Negeri Semarang, S2 di Universitas Diponegoro, dan menempuh Program Doktor Bidang Linguistik Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending