Connect with us

Kolom

Mewujudkan Kampus Aman dari Kekerasan

Published

on

Kredit : https://www.youtube.com/@cerdasberkarakter.kemdikdasmen

Kampus seharusnya menjadi ruang terbuka untuk belajar, mengeksplorasi gagasan, dan membentuk karakter. Namun sayangnya, banyak mahasiswa masih mengalami kekerasan khususnya kekerasan seksual di tempat yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Luka yang ditinggalkan bukan hanya pada reputasi institusi, tetapi juga trauma mendalam yang membayangi hidup korban.

Pemerintah merespons secara serius melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 55 Tahun 2024. Peraturan ini merupakan penyempurnaan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dan menetapkan tata kelola yang lebih ketat di mana setiap kampus diwajibkan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK), menerapkan prosedur pelaporan, serta menjamin layanan medis, psikologis, dan bantuan hukum bagi penyintas (Kemendikbudristek, 2024).

Regulasi ini layaknya sinyal kuat, namun kenyataannya masih banyak yang memilih untuk bungkam. Komnas Perempuan (2024) mencatat setidaknya 82 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi selama periode 2021–2024, namun angka ini hampir dipastikan jauh di bawah jumlah sebenarnya, karena korban takut stigma, khawatir karier akademiknya terganggu, atau tidak percaya pada mekanisme internal kampus (UNESCO, 2023). Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (2020) juga menemukan bahwa banyak korban kekerasan seksual di kampus Amerika Serikat memilih diam karena takut atau rasa skeptis terhadap sistem pelaporan.

Permendikbudristek No. 55 memang memberikan kerangka, tapi tanpa kompas implementasi di lapangan, regulasi bisa saja hambar. Idealnya, Satgas PPK haruslah kredibel dan independen. Namun dalam praktiknya, mereka sering terikat birokrasi kampus, kekurangan anggaran sendiri, tidak memiliki pelatihan investigasi memadai, dan sistem perlindungan data yang masih perlu ditingkatkan. Hal-hal tersebutlah yang melemahkan kepercayaan korban terhadap sistem.

Pemulihan korban juga menuntut pendekatan menyeluruh, bukan sekadar memberi sanksi kepada pelaku. Berbagai studi internasional menunjukkan bahwa layanan parsial, misalnya satu sesi konseling tanpa tindak lanjut, sering kali memperdalam trauma karena korban merasa diabaikan. Model idealnya adalah kampus menyediakan paket layanan terpadu, baik medis, psikologis, maupun hukum dengan akses mudah dan pendampingan berkelanjutan (UN Women, 2022).

Jantung perubahan sebenarnya terletak pada budaya kampus itu sendiri. Pencegahan tidak cukup dilakukan dengan seminar atau spanduk semata. Pendidikan tentang consent, pelatihan intervensi oleh pengamat (bystander intervention), serta pelatihan untuk dosen dan staf harus menjadi bagian dari orientasi mahasiswa baru dan program pengembangan profesional. Penilaian efektivitas program juga perlu dilakukan secara berkala dengan indikator konkret seperti perubahan sikap terhadap kekerasan, tingkat pelaporan yang valid, dan penurunan insiden berulang (UNESCO, 2023).

Kita bisa melihat contoh global yang memaksa perubahan nyata. Di Inggris, universitas yang gagal melindungi mahasiswa dari pelecehan dapat didenda besar dan tidak diperbolehkan menggunakan non-disclosure agreement (NDA) untuk menutup kasus. Ini merupakan langkah taktis yang menempatkan keselamatan individu di atas reputasi institusi (Weale, 2024). Di Australia dan Kanada, pendekatan bystander program dengan melibatkan mahasiswa sebagai pengamat aktif terbukti menurunkan kekerasan dan meningkatkan pelaporan (Powell, Sandy, & Cussen, 2022). Prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi aktif komunitas kampus seperti ini bisa diadaptasi dalam konteks Indonesia.

Agar Permendikbudristek No. 55 tidak hanya menjadi kertas di rak, kampus perlu mengambil langkah konkret. Pertama, audit independen sistem PPK dilakukan setiap dua tahun untuk mengevaluasi kepatuhan regulasi, efektivitas pelaporan, kapasitas investigasi, dan keamanan data korban. Kedua, anggaran khusus harus dialokasikan untuk pencegahan dan pemulihan, termasuk pelatihan berkala dan layanan konseling intensif. Ketiga, sistem pelaporan hybrid yakni menggabungkan kanal offline yang aman, aplikasi terenkripsi, dan opsi anonim yang harus disiapkan lengkap dengan prosedur penanganan yang jelas dan hasil yang dipublikasikan tanpa mengungkap identitas korban.

Pada akhirnya, “kampus aman” bukanlah slogan kosong, melainkan tanggung jawab bersama. Rektor, dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan alumni perlu memilih keberanian melindungi korban di atas mempertahankan citra. Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, Permendikbudristek No. 55 bisa menjadi titik balik budaya perguruan tinggi Indonesia, bukan hanya stempel administratif, melainkan bukti nyata bahwa kampus adalah tempat aman untuk belajar, berinteraksi, dan berkembang.

Daftar Pustaka

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.

Komnas Perempuan. (2024). Catatan kekerasan seksual di perguruan tinggi 2021–2024. Jakarta: Komnas Perempuan.

National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. (2020). Sexual harassment of women: Climate, culture, and consequences in academic sciences, engineering, and medicine. Washington, DC: The National Academies Press.

Powell, A., Sandy, L., & Cussen, T. (2022). Bystander approaches to sexual harassment and violence prevention in universities: An international review. Journal of Gender-Based Violence, 6(3), 411–429.

UNESCO. (2023). Policy guidelines on preventing violence in higher education. Paris: UNESCO Publishing.

UN Women. (2022). Guidance note on campus violence prevention and response. New York: UN Women.

Weale, S. (2024, February 5). Universities in England face fines if they fail to protect students from harassment. The Guardian. https://www.theguardian.com

Tentang Penulis

Dwi Hermawan merupakan Dosen pada Programs Studi S1 PGSD Universitas Sebelas Maret.

Dwi Hermawan adalah mahasiswa S2 Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Ia juga nerupakan awardee beasiswa LPDP Kementerian Keuangan RI.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending