Connect with us

Sebagai fenomena sosial, bahasa adalah sesuatu yang riil dan praktis. Tapi oleh akademisi bahasa, bahasa yang riil dan praktis itu diteorikan menjadi abstrak. Teori yang abstrak – dan terkadang asing – itu membuat kegiatan mengkaji bahasa menjadi rumit.

Beruntunglah ada buku-buku semipopuler seperti yang ditulis Prof Djatmika. Judulnya, Mengenal Pragmatik Yuk!? Sama dengan buku teori pragmatik dasar lain, Djatmika menguraikan konsep-konsep dasar pragmatik seperti tindak tutur, lokusi, implicatur, kesantunan, dan kerja sama. Yang membuat buku ini beda: dituturkan dengan gaya bertutur yang asyik.

Bagi para pengkaji bahasa, hal-hal yang diulas dalam buku ini memang konsep-konsep dasar. Tapi karena dituturkan dengan gaya yang asyik itu, buku ini tetap menyenangkan untuk baca. Bagi pengkaji bahasa, ini seperti panduan berwisata di kampung sendiri. Anda sudah tahu ini dan itunya, tetapi tetap ingin mendengarkan karena merasa senang mendengarkannya.

Ada berbagai contoh unik yang disertakan penulis ketika ia menjelaskan sebuah konsep. Strategi ini membuat sebuah konsep menjadi relatif mudah dipahami.

Saat menjelaskan kata umpatan, misalnya, penulis membandingkan koleksi umpatan dalam bahasa Inggris dan Jawa. Menurutnya, umpatan dalam bahasa Inggris kalah jumlahnya dibandingkan bahasa Jawa. Dalam bahasa Inggris, misalnya, ada shit, asshole, fuck, dick, bitch. Adapun dalam bahasa Jawa, kata umpatan setidaknya terdiri dari 11 kategori pragmatis.

Yang berasal dari anggota tubuh, misalnya, ada ndasmu, matamu, dengkulmu.

Yang berasal dari nama binatang: asu, celeng, kampret, wedus, jangkrik, kirik.

Ada pula yang berasal dari nama profesi: bajingan, lonthe, sontoloyo.

Persoalan pragmatik, menurut Djatmika, adalah persoalan sederhana dan keseharian. Para penutur bahasa sudah memiliki keterampilan dalam bidang ini untuk urusan sehari-hari. Tanpa mempelajari ilmu pragmatik secara khusus pun, penutur bahasa dengan backgorund konwledge yang cukup bisa memecahkan persoalan-persoalan pragmatik di sekitarnya.

Sebagai bagian dari ilmu bahasa, pragmatik bertugas mengungkap maksud pragmatik dari sebuah tuturan. Ini diperlukan karena maksud pragmatis kadang-kadang sama sekali berbeda dengan wujud harfiahnya. Bilangnya begini, ternyata maksudnya begitu. Itulah pragmatik.

Pada komunitas atas, kecenderungan menggunakan ungkapan-ungkapan tak langsung dan simbolik sangat produktif. Mereka dapat membangun pola gramatik yang kadang-kadang sama sekali berbeda dengan yang dimaksudkannya. Orang Jawa, misalnya, punya sanepa. Orang Melayu punya sindiran.

Di buku ini, yang mendapat porsi ulasan cukup banyak adalah soal kesantunan dan kerja sama. Mengambil penjelasan Brown dan Levinson, Djatmika memaparkan setidaknya 15 maksim untuk membangun kesantunan berbahasa. Jumlah ini jauh lebih banyak dari yang pernah dikembangkan Geofrey Leech.

Rahmat Petuguran
Pemimpin Redaksi PORTALSEMARANG.COM

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending