Dalam beberapa tahun terakhir, saya merasa tidak lagi punya hak untuk berbicara tentang ideologi. Minder.
Perasaan semacam itu muncul karena bagi orang yang penuh dosa seperti saya, ideologi tampak seperti benda suci. Ada begitu banyak cacat moral, cacat sosial, dan cacat kultural sehingga kepercayaa diri untuk membincangkannya perlahan menghilang.
Keinginan untuk membincangkannya kembali muncul, biasanya karena tiga hal. Pertama, setelah membaca buku. Kedua, melihat peristiwa luar biasa di lingkungan sekitar. Ketiga, melihat orang yang tampak pongah, mengklaim sedang menegakkan ideologi dengan cara yang bertentangan dengan ideologi yang diklaimnya itu.
(Untuk alasan ketiga, saya segera teringat dengan Napoleon dan Snowball – tokoh fiktif alegori rekaan George Orwell dalam novel ciamkinya: Animal Farm).
Semalam, keinginan untuk membincangkan ideologi kembali muncul usai saya dan istri menonton film Padmavati.
Dari film itulah saya tahu konsep jauhar (yang agak berbeda dengan konsep sati yang saya pernah baca sebelumnya).
Jauhar adalah aksi membakar diri perempuan Hindu India untuk menghindari pemerkosaan, pelecehan, dan penangkapan oleh tentara musuh jika kerajaannya kalah perang.
Ratu Padmavati, dalam film berdurasi nyaris 2,5 jam itu, berpamit kepada suaminya. Jika nanti suaminya kalah perang, dia akan bakar diri. Baginya, itu adalah cara terhormat untuk menjaga kehormatan.
Sang Ratu kemudian memimpin perempuan di kerajaan untuk melakukan hal yang sama.
“Mereka yang berhasrat pada tubuh kita, bahkan tak bisa menyentuh bayangan kita,” kata Ratu (yang diperankan dengan indah oleh Deepika Padukone).
Janji itu benar-benar ditunaikan ratu dan perempuan-perempuan lain dalam Kerajaan Chitor. Saat tentara musuh berhasil menerobos gerbang, mereka berjalan menuju kobaran api, membiarkan tubuh terbakar, dengan senyum mengembang penuh kebanggaan.
Di sinilah pertanyaan tentang ideologi muncul: bagaimana ideologi bekerja sehingga orang merasa bahagia dan terhormat saat tubuh (yang merupakan identitas kedirian primer) terbakar dan hancur?
***
Manusia bertahan hidup berkat insting biologis yang diwarisinya dari alam. Hasrat bertahan hidup barangkali adalah piranti instingtif paling dasar. Berikutnya, ada hasrat seksual, dll.
Sekira 70 ribu tahun lalu, saat manusia awal mengembangkan peradabannya, insting biologis dasar bisa ditunaikan dengan leluasa. Membunuh, memperkosa, mencuri bisa dilakukan sesuka-suka.
Tapi ketika manusia memiliki organisasi yang lebih besar, cara-cara seperti itu harus ditinggalkan karena menimbulkan kekacauan dalam kelompok.
Manusia kemudian mulai menyepakati pranata. Untuk mengendalikan hubungan manusia satu dengan manusia lain, diciptakan hukum.
Tapi hukum saja mungkin tidak cukup. Maka, manusia mengembangkan piranti yang bisa mengatur manusia secara internal. Ideologi.
Sebelum hukum bekerja, apa pun yang secara fisikal-alamiah memungkinkan untuk dilakukan maka boleh dilakukan.
Setelah hukum bekerja, hal-hal yang secara fisikal-alamiah memungkinkan untuk dilakukan belum tentu boleh dilakukan.
Setelah ideologi lahir, bahkan hal-hal yang secara hukum boleh dilakukan pun belum tentu layak dilakukan.
Hukum dan ideologi bekerja dengan membatasi pilihan-pilihan hidup. Kedunya menyodorkan kriteria-kriteria normatif untuk memilah mana yang benar dan yang salah, mana yang baik dan buruk, juga mana yang layak dan tak layak.
Karena membatasi pilihan hidup, ideologi sebenarnya mempersulit kehidupan manusia. Kenikmatan-kenikmatan yang bisa mestinya diperoleh dengan mudah justru harus dihindari. Beberapa jenis kenikmatan harus dihindari karena berdasarkan kriteria logis, etis, dan estetis dinyatakan tidak layak dilakuan. Bukankah itu menyulitkan?
Jika benar demikian, kita bisa munculkan pertanyaan lanjutan: kenapa manusia mempersulit diri dengan mengembangkandan menghayati ideologi?
Jika pertanyaan itu diajukan kepada manusia pada peradaban modern seperti sekarang, manusia modern tak akan kesulitan menjawab: karena ideologi itu baik.
Tapi jawaban bahwa ideologi baik adalah jawaban yang telah terpapar ideologi tertentu. Karena itu, itu bukan jawaban yang memuaskan.
Maka, mari berspekulasi dengan membayangkan kita hidup pada masa praideologi menjelang lahirnya ideologi.
Apa yang membuat manusia pada masa itu membuat keputusan evolusioner untuk mengembangkan ideologi?
Kalau Anda membaca status saya sampai sejauh ini, Anda luar biasa. Silakan jawab pertanyaan saya. Hehehe…
Salam lemper!
Rahmat Petuguran
-
Muda & Gembira10 years ago
Kalau Kamu Masih Mendewakan IPK Tinggi, Renungkanlah 15 Pertanyaan Ini
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 10 Sifat Orang Ngapak yang Patut Dibanggakan
-
Muda & Gembira9 years ago
Sembilan Kebahagiaan yang Bisa Kamu Rasakan Jika Berteman dengan Orang Jepara
-
Muda & Gembira10 years ago
Inilah 25 Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
-
Muda & Gembira9 years ago
SMS Lucu Mahasiswa ke Dosen: Kapan Bapak Bisa Temui Saya?
-
Lowongan9 years ago
Lowongan Dosen Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM), Deadline 24 Juni
-
Kampus11 years ago
Akpelni – Akademi Pelayaran Niaga Indonesia
-
Kampus12 years ago
Unwahas – Universitas Wahid Hasyim