Connect with us

Karena cuma baca pemikiran Foucault dari serpihan tafsir orang lain (jujur, sampai sekarang utek dedelku belum bisa paham walaupun sudah dipaksain baca naskah aslinya), tampaknya saya salah paham memahami adagium “knowledge is power”.

Itu bodoh. Tapi bisa jadi itu kebodohan yang indah.

Selama ini saya memahami adagium itu dalam taraf yang amat teknis.

Adagium itu saya pahami bahwa pengetahuan memungkinkan orang memahami dunia lebih baik. Karena memahami dunia lebih baik seseorang bisa mengambil keuntungan lebih banyak ketika menyikapi kondisi dunia.

Pengetahuan istri saya terhadap menu makanan di resto, kafe, bahkan warung adalah contohnya.

Dia tahu jenis-jenis makanan yang dalam buku menu kerap ditulis dalam bahasa Inggris. Karena dia tahu, dia bisa memilih jenis makanan yang paling mendekati seleranya.

Saya biasanya bingung. Karena itu, pilihan saya relatif terbatas: nasi goreng plus es teh.

Itulah tafsir saya selama ini.

Belakangan, saya merasa itu tafsir yang terlampau sederhana. Bahkan mungkin meleset.

Kelihatannya “power is knowledge” tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hal teknis itu, tapi lebih jauh lagi pada level paradigmatik.

Ini terjadi karena setiap tindakan manusia dilatari oleh pengetahuan di belakangnya. Tindakan adalah representasi dari rasionalitas tertentu. Adapun tipe rasionalitas ditentukan oleh rezim kebenaran tertentu yang dibangun melalui pengetahuan.

Pernikahan adalah tindakan yang benar dalam kebudayaan sebagian besar masyarakat hari ini. Perzinaan sebaliknya.

Penilaian bahwa menikah itu benar dan zina adalah salah dipengaruhi oleh sistem pengetahuan yang disistematisasi dalam agama, adat istiadat, dan sains. Barangkali itu contohnya.

Cara masyarakat menangani orang gila – apakah diobati, dipasung, atau dibiarkan berkeliaran di jalanan – juga dipengaruhi oleh pengetahuan publik tentang kegilaan.

Pengetahuan menentukan tindakan-tindakan yang mungkin dan tidak mungkin ditempuh. Sebuah tindakan layak dilakukan jika dinormalisasi oleh rezim pengetahuan pada masanya. Jika menyimpang, tindakan itu tidak normal bahkan salah.

Dengan latar itu, “knowledge is power” tidak beroperasi pada tataran teknis. Adagium itu menjelaskan persoalan yang lebih luas sekaligus lebih abstrak.

Persoalannya, rezim pengetahuan mengalami perubahan terus-menerus bahkan tumpang tindih satu sama lain. Karena itu, kebenaran jadi persoalan yang rumit karena bisa bersesuaian sekaligus bertentangan dengan rezim-rezim yang ada.

Karena itu, praktik-praktik pendisiplinan juga sangat ditentukan pengetahuan yang sedang menjadi konsensus.

Kondisi ini bisa biki galau karena manusia benar-benar tidak punya jalan keluar menghindari rezim pengetahuan tertentu.

Kalaupun seseorang merasa tercerahkan karena sadar bahwa rezim pengetahuan lamanya ternyata keliru, pencerahan itu hanya membawanya pada rezim pengetahuan baru. Begitulah spiral kebenaran akan terus berjalan.

Bagaimana dengan agama? Bisakah ia memberi kebenaran yang relatif permanen?

Cara kita mendefinisikan agama, memiliah yang itu agama dan yang itu bukan, yang itu agama yang benar dan yang itu tidak benar, juga ditentukan oleh pendefinian yang dikukuhkan lewat pengetahuan.

Jadi, gimana dong?
Au ah gelap.

Salam,
Rahmat Petuguran

Rahmat Petuguran adalah pemimpin redaksi PORTALSEMARANG.COM. Selain aktif di dunia jurnalistik, ia juga aktif menjadi peneliti bahasa. Sebagai peneliti bahasa ia menekuni kajian sosiolinguistik dan analisis wacana. Kini sedang melanjutkan studi di Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora (Linguistik) Universitas Gadjah Mada.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending