Connect with us

Digital Wishdom

Memahami Keganjilan Pola Konsumsi

Published

on

Kenapa Joni memilih rokok Djarum Mild sedangkan Jono memilih U Mild? Kenapa ada karyawan rendahan yang gemar menginap di hotel bintang empat? Kenapa anggaran mahasiswa untuk beli smartphone jauh lebih banyak daripada anggaran untuk beli buku? Kenapa Bob Sadino suka pakai celana pendek?

Di republik ini – dan barangkali wilayah lain – pola konsumsi seseorang ternyata tidak dapat dipetakan berdasarkan kekuatan kapitalnya saja. Selera musik, desain rumah, busana, hingga pilihan kaos kaki seseorang tidak selalu sebanding dengan modal ekonomi yang dimilikinya.

Kondisi ini sulit dijelaskan dengan mengandalkan perspektif ekonomi. Itu telah dirasakan sejak lama. Oleh karena itu, penjelasan sosiologis amat diperlukan. Bantuan yang amat penting itu, salah satunya diberikan Pierre Bourdieu.

Dalam Distinction, sosiolog Perancis itu menjelaskan peran simbol dalam menentukan tindakan konsumsi. Menurutnya, orang membeli dan menggunakan sesuatu bukan hanya karena alasan fungsionalnya. Yang tak bisa diingkari, orang-orang ternyata mengonsumsi sesuatu juga untuk keperluan identitas.

Ini bermula ketika kelompok dominan mencoba mengokohkan posisi sosialnya dengan membuat pembeda (distinction) dari kelompok lain yang lebih rendah. Para priayi Jawa, misalnya, membuat beskap agar tak telanjang dada seperti kawula alit. Lord di Inggris membuat mantel dari bulua gar tampak berbeda dengan para baron.

Kecenderungan psikologis untuk tampil beda tidak lepas dari kelas ekonomi. Untuk urusan ini Bourdieu tak menafikan penjelasan Marx – memang seharusnya tidak. Kemampuan ekonomi membuat kelompok dominan leluasa menciptakan standar tinggi atas busana, makanan, perumahan, kendaraan, musik, hingga bahasa.

Bangsawan Eropa memilih musik klasik dan jazz sebagai hiburan. Mereka lebih suka makanan ikan yang berprotein tinggi, rendah lemak, dan lezat. Mereka menerangi ruang tamu dengan lampu Kristal. Adapun lantai rumah mereka, lazimnya terbuat dari marmer.

Untuk membuat standar tinggi itu, para bangsa selalu punya ongkos. Mereka cukup punya uang dari hasil perkebunan. Pada era feodal, mereka juga memperoleh cukup banyak uang dari pajak dan upeti.

Di abad 21 seperti saat ini, para pencipta standar bukan hanya kelompok feodal tetapi juga para konglomerat. Dengan uang yang melimpah mereka bisa membeli barang yang melampaui nilai fungsionalnya. Untuk urusan kendaraan, misalnya, mereka memilih Lamborghini daripada Xenia – meski keduanya sama bisa jadi alat transportasi.

Kekuasan Kelas Dominan

Dalam pandangan Bourdieu – jika saya tak salah tafsir –jazz, ikan, marmer, dan Lamborghini hanyalah simbol. Barang-barang itu digunakan kelompok dominan untuk menegaskan bahwa dirinya jauh lebih baik dari kelompok terdominasi. Dan karena mereka lebih baik, mereka berupaya meyakinkan kelompok terdominasi bahwa mereka harus diikuti, dituruti, ditakuti.

Simbol jadi alat penting dalam permainan kekuasaan. Simbol dan kekuasaan punya hubungan resiprokal. Pada satu sisi simbol mengukuhkan kekuasaan dan pada saat yang lain kekuasaan melahirkan simbol. Sebagaimana pengetahuan, simbol tak pernah netral.

Bourdieu menyuguhkan pembacaan kritis atas atas semesta raya simbol yang dijadikan alat pembenaran bagi selera budaya penguasa. Dengan modal sosial, intelektual, dan finansialnya, kelompok ini memproduksi simbol, memberi makna, mengurangi, atau menambahkan simbol untuk kepentingan kekuasaannya.

Di era feodal, seorang anak raja bisa gembelengan di kampung-kampung sambil menggoda anak gadis orang. Warga desa tak berani melawan karena si pangeran mengendarai kuda pilihan. Kuda berperawakan tinggi besar dengan poni menjuntai yang terawatt hanya dimiliki keluarga kerajaan. Warga membaca “kuda” lebih dari wujud fisiknya. Kuda adalah simbol dari kekuasaan besar, kekuasaan yang tak mungkin mereka lawan.

Preman selama ini tidak mendapat perlawanan dari warga saat mereka melakukan pemerasan. Warga takut karena preman itu memiliki tato kapak di lengan kanannya. Bagi warga, tato kapa kbukan ekspresi estetis, melainkan simbol dari kekuatan besar.

Lain waktu, ada seorang penumpang pesawat yang datang terlambat. Si penumpang yang telat tahu betul bahwa keterlambatannya membuat penumpang lain kesal. Untuk menghindari rundungan (bully-an) dari penumpang lain, ia perlu menyatakan diri bahwa ia adalah penguasa. Oleh karena itu, sambil menaiki tangga pesawat dia memassng gambar garuda emas di jasnya.

Kekuatan simbol untuk menjelaskan sesuatu tanpa harus menjelaskan sesuatu, dengan demikian, digunakan orang untuk mengokohkan identitasnya. Simbol digunakan seseorang agar ia dipersepsi oleh orang lain seperti yang ia harapkan. Jika ini berhasil, dia akan memperoleh keuntungan sosial yang banyak, berupa rasa hormat, wibawa, kekaguman, atau semacamnya.

Keuntungan sosial semacam inilah yang mendorong orang berupaya mereproduksi simbol-simbol dalam hubungan sosial. Melalui busana, melalui makanan, melalui rumah, melalui gadget, melalui musik, mereka ingin diidentifikasi sebagai pribadi dominan: kaya, cerdas, mapan, elit, bangsawan, saleh. Saya katakan “mereproduksi” karena kebanyakan orang tidak cukup memiliki kekuatan untuk menciptakan simbol baru. Lazimnya, orang menggunakan simbol yang telah ada dengan makna yang telah mapan.

Rekayasa Identitas

Bourdieu mengklaim bahwa perbedaan-perbedaan kelas dan fraksi kelas merupakan basis bagi pola-pola budaya. Pada setiap kelas atau fraksi kelas terdapat pola-pola kebudayaan yang kurang lebih seragam. Elit satu dengan lain memiliki praktik kegiatan budaya yang sama, cendekia pada kelas yang sama juga mempraktikan kegiatan budaya yang kurang lebih sama.

Hingga sejauh ini penjelasan Bourdieu cukup membantu untuk memahami keganjilan pola konsumsi masyarakat. Konsumsi tidak sekadar pemeuhan atas kebutuhan, melainkan juga strategi meneguhkan identitas. Melalui kegiatan konsumsi, orang-orang mengidentifikasi kelasnya. Melalui kegiatan konsumsi pula mereka berharap orang lain mengidentifikasi kelasnya.

Joni memilih Djarum Super Mild karena ia – sengaja maupun kebetulan – melihat iklan rokok itu. Dalam iklan itu, ada seorang pria kaya dan tampan tampak sedang menikmati perjalanan dengan pesawat pribadi. Pria itu lalu terjun menuju pulau kecil berpasir putih yang sepi. Di pantai, pria itu berenang bersama seorang perempuan berbikini. Dan – ulala – ada lumba-lumba yang sukarela beratraksi di depan mereka.

Pesawat pribadi, terjun payung, pantai yang sepi, dan perempuan berbikini adalah simbol-simbol kemapanan finansial. Simbol itu coba dinarasikan dan dilekatkan pada merk rokok itu. Joni ingin mengidentifikasi diri sebagai pria kelas atas yang mapan. Oleh karena itu, saat ke swalayan, ia memilih Djarum Super Mild.

Seorang buruh barangkali merasa bahwa statusnya tidak menjanjikan penghargaan sosial yang memadai. Pekerjaan sebagai buruh identik dengan pekerjaan kasar, tekanan kerja tinggi, namun gaji rendah. Identitas itu perlu ia kamuflasekan dengan simbol-simbol yang menyatakan hal sebaliknya. Ia perlu meneguhkan bahwa sebenarnya ia kaya. Oleh karena itu, sekali waktu ia menggunakan separuh gajinya untuk menginap di hotel bintang empat. Foto-foto di hotel kemudian ia sebar di sosial media.

Karyawan kelas rendah di sebuah universitas (baca: penulis) juga gemar memanfaatkan kesempatan rapat kerja di hotel untuk foto-foto. Foto diseting dengan background khusus, dengan simbol yang mudah dikenali.  Bisa berupa loby, bisa resepsionis, bisa kolam renang, logo perusahaan, atau view dari kamar.

Jika sekali waktu mendapat tugas ke luar kota, karyawan ini tentu juga akan mengambil foto lagi. Foto itu direkayasa dengan sedemikian rupa agar ia tampak sedang melakukan perjalanan pribadi, dengan biaya pribadi pula.

Jika itu belum cukup, ia perlu ke restoran mahal, ngobrol dengan pejabat atau artis, atau bahkan berpose sedang snorkeling. Restoran, pejabat, artis dan snorkeling adalah simbol yang menjanjikan identitas kaya, sebuah identitas yang diperlukannya.

Simbol demikian tentu tak lagi diperlukan Bob Sadino. Tanpa kamuflase identitas pun, banyak orang  tahu bahwa ia kaya raya. Karena itulah, ia memilih menggunakan celana pendek. Ia tak pakai jeans apalagi jas seperti profesional. Celana pendeak, kono, dipilih Bob dengan latar belakang yang sederhana: isis.

Tapi, tentu saja klaim itu perlu dipertanyakan. Bagi saya Bob juga sedang bermain simbol. Barangkali agar ia diidentifikasi sebagai pribadi yang sederhana. Identitas sederhana, bagi seseorang yang telah mendapat status sebagai orang kaya, adalah identitas yang penting.

Rahmat Petuguran

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending