Connect with us

Pendidikan

Menuju Pembelajaran Transformatif

Published

on

[…] sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di sekolah, mereka dilatih mempelajari gagasan dan pengetahuan formal dari “luar sana” sebagai jawaban atas segala persoalan mereka, bahkan lebih berbahaya lagi, sebagai tujuan, sebagai hidup yang ideal. (Nurhady Sirimorok, 2010: 201).

Upaya untuk mengimplementasikan sebuah mazhab pemikiran dan praksis pendidikan yang ditujukan untuk transformasi sosial pada mulanya memang lebih banyak dilakukan di luar sistem pendidikan formal persekolahan (schooling), sasarannya juga pada mulanya lebih banyak dari orang dewasa (adult), hal ini terjadi misalnya ketika Paulo Freire mulai menggerakkan praksis pendidikan pembebasannya untuk masyarakat petani, buruh, dan kaum terpinggirkan-tertindas lainnya di Brazil pada tahun 1960 dan 1970-an.

Di Indonesia sendiri, mula dari gerakan pendidikan transformatif yang acuan teoretik dan praksisnya pada Paulo Freire (seringkali disebut juga Freirean) juga dilakukan di luar sistem pendidikan formal (sekolah dan kampus), yakni melalui praktik-praktik pemberdayaan masyarakat (community empowering) yang dilakukan oleh beberapa lembaga Non Government Organizations (NGO’s) pada akhir tahun 1980-an sampai sekarang (Mansour Fakih, 1996).

Di kampus sendiri gerakan tersebut juga dimulai dari munculnya komunitas-komunitas intelektual di luar kampus, terutama dimulai pada saat ketentuan NKK/BKK dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Di sisi lain, pada gerakan pendidikan transformatif yang mengambil bentuk pendidikan formal dan tidak mengacu pada Freire, kita bisa melacaknya kira-kira mulai dari didirikannya Sekolah Rakyat oleh Tan Malaka di Semarang dan Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara, selain itu juga terdapat INS Kayutanam oleh M. Sjafe’i dan Sekolah Dasar (SD) Mangunan yang diprakarsai oleh Romo Mangun dan lainnya.

Pada satu dekade terakhir ini gerakan pendidikan untuk transformasi sosial juga berkembang di kampus dan sekolah-sekolah formal. H.A.R. Tilaar misalnya, adalah termasuk pioner yang memacu hadirnya diskursus pendidikan transformatif di lingkungan kampus (H.A.R. Tilaar, Jimmy & Lody Paat, 2011). Munculnya gerakan guru kritis dalam beberapa organisasi guru dan beberapa ragam pendidikan alternatif adalah fenomena tersendiri yang muncul. Dari semua fenomena gerakan pendidikan transformatif di Indonesia tersebut, semuanya menempatkan guru sebagai agensi atau aktor utama perubahan sosial dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu, menjadi unik apa yang dilakukan oleh Nurhady Sirimorok di Makassar (Sulawesi Selatan), karena gerakan pendidikan transformatifnya “bertumpu” pada siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA). Program yang ia gagas bersama kawan-kawannya mencoba menyasar siswa-siswi pada jenjang pendidikan SMA.

Ketika beberapa fakta gerakan guru yang berpegang pada gagasan dan prinsip dasar pedagogi kritis dan/atau pendidikan transformatif di beberapa tempat tidak selalu berhasil—walau sudah dimulai sejak lama, lalu bagaimanakah hasil dari desain program pendidikan transformatif yang dilakukan Nurhady Sirimorok di Makassar? Dengan menarik ia menuliskan ulasan pengalaman dan hasil dari programnya tersebut dalam bukunya yang berjudul “Membangun Kesadaran Kritis: Kisah Pembelajaran Transformatif Orang Muda” terbitan Insist Press, Yogyakarta, 2010.

Desain Program
Nurhady bersama kawan-kawan di Makassar yang tergabung dalam Rumah Kamu mulai tahun 2003 mencoba menyelenggarakan sebuah program pembelajaran partisipatif yang sasarannya adalah anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA). Program tersebut diberi nama Youth Camp atau “kemah” orang muda.

Desain program yang mengambil siswa-siswi SMA ini juga tidak asal comot saja, melainkan mendasarkan pada pertimbangan yang cukup mendalam. Ketika mau mengambil peserta program yang berasal dari mahasiswa, Nurhady dan kawan-kawan menilai bahwa mahasiswa biasanya sudah banyak yang tercekoki oleh indoktrinasi ideologis yang banyak dilakukan oleh organisasi mahasiswa ekstrakampus, dan kalau hanya mengandalkan program selama beberapa hari, jelas akan sulit untuk membalik cara dan para berpikir mereka (hlm. 87). Di sisi lain, bidikan Nurhady pada siswa-siswi SMA juga didasarkan pada keprihatinannya terhadap stigma negatif yang menempel pada siswa-siswi SMA, atau sebagaimana ia sebutkan secara lebih luas adalah Orang Muda. Ia menuliskan:

Bagi Orang Muda Indonesia, persoalan pendidikan kita bermasalah di seluruh aspeknya. Mulai dari kurikulum yang kaku dan bersih dari pemikiran kritis, bersifat tambal sulam, dan bias urban. Media massa yang menyempitkan pandangan publik tentang persoalan Orang Muda karena mengejar rating. Kultur paternalistik Orde Baru yang menjaikan Orang Muda sebagai makhluk bodoh dan tukan rusuh tapi apolitis. Praktik pendidikan yang culas dan kapitalistik. Kompetensi guru yang mengalami defisit. Hingga kebijakan pendidikan nasional yang menjadikan guru sebagai pegawai patuh ketimbang pendidik dan peserta didik sebagai anak patuh dan siap jual. (Nurhady Sirimorok, 2010: 57)

Sasaran program ini adalah siswa-siswi kelas tiga SMA di Kota Makassar. Mereka dibawa ke daerah pedesaan yang jauh dari Kota untuk hidup bersama dengan masyarakat desa tersebut. Selama lebih kurang sebelas hari siswa-siswi SMA tersebut belajar mengamati kehidupan masyarakat desa yang sebelumnya banyak mereka anggap sebagai terbelakang, bodoh dan tidak berdaya. Inilah desain program yang mendorong siswa-siswi—atau dalam istilahnya Nurhady Sirimorok adalah Orang Muda—untuk menjadi penelitian (student as researcher), yang ia kembangkan oleh Steinberd, Kincheloe dan koleganya (hlm. 105). Kita juga dapat menelusuri gagasan ini pada gagasan Henry Giroux bahwa guru sudah seharusnya untuk menjadi intelektual (teachers as intellectual).

Sebagai sebuah desain program yang melatih Orang Muda peserta program sebagai peneliti, maka aktivitas dasar yang dilakukan—sebagaimana dikemukakan di atas—adalah mengamati (observasi), wawancara kepada warga desa, membaca data dan informasi yang diperoleh, menganalisis data dan menuliskannya. Laporannya sendiri sebenarnya tidak hanya berupa laporan penelitian, melainkan juga dapat berupa media lainnya, misalnya video pendek dan surat untuk pemerintah. Tiap siswa-siswi diberi tugas untuk menuliskan Jurnal personal atau pengalamannya sehari-hari hidup bersama warga desa, termasuk cerita pengalaman mereka dalam mengamati, melakukan wawancara dan menganalisis data. Selama itu pula tiap dua anak menginap di rumah warga, hal tersebut ditujukan agar mereka dapat melihat lebih dekat kehidupan masyarakat desa dari salah satu lingkup terkecilnya, yaitu keluarga.

Sebagaimana ditunjukkan pada judul bukunya maka tujuan dari program ini adalah untuk membangun kesadaran kritis para siswa-siswi peserta program. Oleh karena itu, keterlibatan siswa-siswi dalam program ini tidaklah didesain sebagaimana program kepecinta-alaman, kepanduan (Pramuka), atau sejenis Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir. Pada level ideologis, program yang dijalankan oleh Nurhady dan kawan-kawan ini adalah upaya serius untuk membongkar cara pandang atau paradigma berpikir dari siswa-siswi peserta program, bahwa sejatinya praksis pendidikan yang telah mereka alami di sekolah formal tidak sepi dari masalah; juga bahwa terdapat ruang, tempat dan cara belajar lain selain dari lingkungan sekolah yang mereka alami selama ini.

Secara lebih terperinci, beberapa hal yang ingin dituju dari program Youth Camp ini adalah memberikan perspektif dan pemahaman kepada peserta bahwa terdapat ruang belajar lain selain sekolah, sumber belajar bukan satu-satunya ada di sekolah dan di tangan guru, bahwa kehidupan riil masyarakat juga merupakan sumber belajar dan pengetahuan yang tak ada habis-habisnya. Selain itu juga ingin mengenalkan bahwa ada cara lain dalam belajar, bahwa belajar tidak hanya bertumpu harap pada buku-buku teks dan jawaban dari guru di kelas, melainkan bisa dari eksplorasi terhadap lingkungan alam dan realitas sosial masyarakat riil yang justru lebih kaya ragam dan up date.

Pembelajaran Transformatif
Desain program Youth Camp dan apa yang ditulis oleh Nurhady dalam bukunya tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya untuk membangun perubahan pada level personal yang lebih sempit lingkupnya. Dengan demikian, yang diinginkan dari program tersebut adalah perubahan paradigma berpikir siswa-siswi tersebut, oleh karena itu tidak didesain sebagai program pemberdayaan (empowerment) masyarakat desa dan sejenisnya. Jadi bukan perubahan sosial, melainkan perubahan pada level personal. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari bagaimana program Youth Camp memilih individu-individu dari beberapa sekolah tertentu untuk dipilih dan diikutkan dalam program. Pun desain programnya bukanlah untuk memberdayakan masyarakat tempat siswa-siswi tersebut bertempat tinggal selama beberapa hari, melainkan untuk memberikan pengalaman hidup bagi siswa-siswi tersebut.

Nurhady oleh karenanya fokus pada proses pembelajaran (bukan pendidikan) yang lebih terfokus pada proses pembelajaran (learning). Istilah yang dipilihnya adalah pembelajaran transformatif (transformative learning) yang ia ambil dari Jack Mezirow dan beberapa acuan teoretik dari Journal of Transformative Education Learning dan Journal of Transformative Education juga menunjukkan bahwa pembelajaran transformatif yang ia praktikkan berada dalam lingkup gagasan dan praksis pendidikan transformatif (Sirimorok, 2010: 40-41). Lebih lanjut Nurhady dengan merujuk pada Jack Mezirow mengungkapkan konsep pembelajaran transformatif sebagai berikut.

Pembelajaran Transformatif adalah sebuah proses di mana seseorang mengalami perubahan kerangka acuan berpikir (frame of reference). Kerangka ini menentukan apa yang diketahui dan bagaimana orang mengetahui. Seorang yang mengalami perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun orang lain. Namun proses ini tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga melibatkan pergerakan emosional. Fenomena ini tidak dapat diajarkan tetapi harus dialami, sehingga peran pendidik terbatas sebagai fasilitator dan pemantik bagi berlangsungnya proses ini. Akhirnya dalam proses ini, individu bertransformasi menjadi pembelajar yang bisa mengarahkan diri sendiri, kritis, dan mampu berpikir secara otonom. (Nurhady Sirimorok, 2010: 47-48)

Dengan kerangka acuan tersebut, program Youth Camp dijalankan. Sebagaimana dikemukakan di depan, siswa-siswi peserta program dibenturkan dengan realitas sosial di luar kelas, yang sejatinya mereka juga tiap hari selalu mengalaminya, yakni ketika di keluarga dan masyarakat, hanya saja dalam Youth Camp ini mereka diarahkan sedemikian rupa untuk mengalami peristiwa atau momen-momen yang mencerahkan.

Desain lingkungan dan praksis pembelajaran dibalikkan 180 derajat dari yang mereka alami selama di sekolah dan masyarakat. Selama mereka berada di lingkungan sekolah, mereka diarahkan untuk belajar dari dua sumber utama, yaitu guru dan buku teks, maka di lingkungan “baru” tersebut mereka diajak untuk belajar dari berbagai macam sumber pengetahuan. Mereka diajari bahwa tujuan bersekolah adalah untuk mencapai prestasi yang tinggi, logika kompetisi diajarkan sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Praksis pembelajaran yang tidak desain dalam bentuk aktivitas cinta alam atau bakti sosial diharapkan dapat menjadi lingkungan belajar yang subur bagi tumbuhnya kesadaran kritis.

Identifikasi Adanya Perubahan (Transformasi)
Keberhasilan program dalam merubah cara pandang siswa-siswi tersebut misalnya dapat dilihat ketika terjadi kasus siswa lulusan Youth Camp berupaya menentang praktik perankingan di sekolahnya, yakni ketika Kepala Sekolah punya kebijakan akan mengumpulkan siswa-siswi yang pintar dalam satu kelas dan yang tidak pintar dalam satu kelas lain yang berbeda. Nurhady menulis:

Pelajar-pelajar tersebut berpikir bahwa metode ini akan memperlebar jarak antara mereka yang cemerlang secara akademik dengan mereka yang tidak. Mereka mengajukan argumen menurut pengalaman mereka kepada Kepala Sekolah: “Ini akan membuat [pelajar] yang tertinggil akan semakin tertinggal, sebab guru tidak memperlakukan setiap kelas dengan [perhatian] yang sama.” Lebih jauh mereka menduga bahwa penyatuan para pelajar dari ranking teratas, berhubungan dengan upaya pihak sekolah untuk memperbaiki laporan yang ditujukan kepada atasannya. Dengan menggunakan rata-rata nilai dari kelas yang diisi para juara kelas itu sebagai sampel, maka nilai rata-rata keseluruhan sekolah akan terdongkrak. (Nurhady Sirimorok, 2010: 161)

Pengalaman-pengalaman “perlawanan” dan “negosiasi” yang dilakukan para Orang Muda pasca mengikuti Youth Camp inilah yang digali lebih jauh oleh Nurhady untuk mengidentifikasi: apakah desain program Youth Camp tersebut sudah dapat sampai pada tujuan transformasi, yakni di sini ditekankan pada transformasi pembelajaran yang intinya adalah transformasi individu.

Cerita lain yang juga diidentifikasi oleh Nurhady sebagai keberhasilan program ini adalah ketika mereka mempertanyakan keberlanjutan program ini bagi masyarakat desa yang mereka tinggali selama beberapa hari tersebut. Memang desain Youth Camp yang difokuskan pada upaya transformasi pada ranah individual tidak diarahkan pada upaya memberdayakan masyarakat sekitar, dan hal inilah yang juga dikritik oleh siswa-siswi peserta program tersebut. Selain itu juga terdapat kritik, bahwa program ini ternyata terlalu menekankan pada perkembangan kelompok, padahal perkembangan individual juga diperlukan untuk diperhatikan serius.

Upaya untuk membangun kesadaran kritis tersebut sampai pada level transformasi individual, sejatinya juga menyisakan tanya dan soal. Misalnya, dengan penekanan pada transformasi pada dimensi individual si anak, bagaimana dengan transformasi sosial pada lingkup yang lebih luas, yaitu sekolah dan masyarakat; bagaimana juga penekanan pada agensi (agency) ini dapat memberi kontribusi bagi perubahan struktur (institusi, sistem, sekolah); apa benar iya “hanya” dalam tempo sebelas hari sudah bisa menghasilkan bentuk transformasi individual yang “luar biasa”, atau jangan-jangan penggalian data ini hanya untuk menunjukkan telah dicapainya perubahan atau transformasi pada dimensi individu si siswa-siswi tersebut? Di sisi lain, upaya pengamatan secara serius yang dilakukan oleh Nurhady dan kawan-kawan kepada para lulusan program Youth Camp tampak belum sampai pada upaya pengorganisasian mereka. Para lulusan “dibiarkan” untuk bergerak dalam bentuk melawan dan melakukan negosiasi di dalam struktur sekolah. Bahkan detail-detail bentuk aktivitas yang dilakukan Orang Muda tersebut di masyarakat juga belum tergambarkan dengan jelas.

Terlepas dari beberapa pertanyaan itu dan lainnya yang muncul dari hadirnya buku ini, maka sebagai sebuah program lived in di masyarakat selama lebih kurang 11 (sebelas) hari, capaian ini dapat dikatakan luar biasa. Analisis yang mengaitkan antara siswa-siswi peserta program sebagai agensi perubahan dan struktur kekuasaan di sekolah yang seringkali tidak akomodatif terhadap perubahan juga cukup kritis. Pun buku ini sebagai sebuah dokumentasi terhadap program pembelajaran yang dapat dimasukkan dalam satu aliran pedagogi kritis (critical pedagogy)—walaupun Nurhady lebih menyebutnya sebagai pembelajaran transformatif (transformative learning)—harus diapresiasi secara sungguh-sungguh, karena memang pengalaman-pengalaman inilah yang penting untuk dibagi sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua yang ingin membangun dan menggerakkan pendidikan sebagai praksis perubahan sosial.

Satu paragraf menarik yang ditulis oleh Nurhady sebagai refleksinya atas apa yang dilakukan oleh para lulusan program Youth Camp, yakni ketika mereka melakukan perlawanan frontal atau negosiasi halus di sekolah, sebagai berikut.

Berbekal kerangka berpikir dan informasi baru yang mereka peroleh, di banyak kasus, para alumni program bisa secara kreatif menciptakan beragam model negosiasi, berbagai titik temu, atau bahkan ruang baru, di mana agensi mereka bisa diejawantahkan tanpa mengundang konflik yang berarti. (Nurhady Sirimorok, 2010: 154)

Antara Agensi dan Struktur
Jika ditarik pada level teoretis, perbincangan yang teramat penting adalah mengenai perdebatan antara agensi dan struktur. Apa yang dilakukan oleh Nurhady dan kawan-kawan melalui Youth Camp adalah upaya gerakan pendidikan transformatif yang menekankan pada agensi, bukan struktur. Nurhady menyatakan bahwa kelompok strukturalis yang cenderung melakukan analisis kritis terhadap struktural sistem kekuasaan, relatif tidak dapat melihat secara jelas capaian-capaian perubahan pada level akar rumput dan lokalitas.

Lebih kurang terdapat 5 (lima) kritik Nurhady (2010: 166-169) terhadap bahaya menganaikan agensi, yaitu (1) mengabaikan agensi akan menyebabkan menjalarnya sikap menunggu, berpangku tangan, bahkan apatis terhadap upaya perubahan; (2) pendekatan struktural-formal ini juga cenderung hanya mengandalkan kekuatan dari luar (misal bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah yang paling berkuasa dalam merubah tata kelola birokrasi untuk menjai lebih demokratis, akuntabel dan lainnya); (3) pengabaian agensi juga menjadi sebab bertahannya kekuagan hegemonik yang gagal mendapatkan tantangan, bisa juga jadi sebab gagalnya identifikasi model-model gerakan “dari dalam sistem” yang berhasil dan genuine; (4) pengabaikan agensi juga mengakibatkan makin menjadi-jadinya penyalahgunaan kekuasaan; dan (5) pengabaian ini juga meningkatkan kesulitan bagi aktor-aktor di luar struktur formal untuk melakukan upaya transformasi. Saya kutipkan agak panjang di sini pernyataan Nurhady Sirimorok (2010: 186) dengan mengacu pada Hickey dan Mohan, mengenai kritiknya terhadap “kaum strukturalis”.

[…] kaum strukturalis cenderung terjebak dalam harapan perubahan “struktural-formal” besar, yang kadang terasa muluk-muluk, bahwa pemerintah harus segera melakukan ini dan itu, tanpa melihat secara detail skema kultural yang bekerja di balik kebijakan lembaga besar yang mereka kritik. Di samping itu, mereka juga cenderung mengabaikan kemungkinan aktor, atau jaringan aktor-aktor—yang mungkin karena berada pada level bawah sehingga tak terlihat—yang sebenarnya bisa mengusahakan perubahan, meski dimulai dari lingkungan yang paling kecil.

Catatan:

Artikel pendek ini telah dipaparkan pada diskusi perdana Educational Studies Forum (EStu), hari Senin, 26 Maret 2012 pukul 15.30 WIB, di Gd. A3, Lt. 1, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (Unnes). Penulis dan sekaligus pemantik adalah Edi Subkhan, dosen muda pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, FIP Unnes.

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. saifullah.spdi

    October 12, 2012 at 12:57 am

    mohon informasinya ttg buku jack mezirow atau buku-buku ttg pembelajaran transformatif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending