Connect with us

Kata subsider merupakan bahasa hukum atau perundang-undangan. Jadi, sejak lama kata itu  telah sering digunakan dalam lembaga hukum atau lembaga peradilan. Pendek kata kata subsider memang merupakan bahasa hukum. Akan tetapi, apakah nantinya kata subsider berkembang menjadi kosakata kata umum? Hal itu sangat mungkin karena semakin gencarnya budaya global yang sedikit- banyak akan berpengaruh terhadap perubahan makna bahasa.

Kata subsider digunakan dalam kaitannya dengan vonis hukum kepada seseorang atau pihak tertentu sebagai konsekuensi dari proses hukum. Kata subsider artinya ‘sebagai pengganti’ atau ‘pengganti’. Karena sebagai wujud dari bentuk vonis hukum, kata subsider dapat diartikan pengganti dari ketetapan hukuman.

Maksudnya, pengadilan menjatuhkan hukuman atau vonis terhadap terdakwa berupa hukuman A. Akan tetapi, hukuman berbentuk A itu dapat diganti dengan hukum B, atau C. Dalam hubungan ini, dapat dinyatakan pengadilan memvonis hukuman A subsider B atau pengadilan memvonis hukuman A subsider C.

Pembaca yang mulia, dari sejarahnya, tradisi penggantian hukuman atau subsider itu telah lama dikenal dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, dalam agama Islam pun dikenal adanya hukuman pengganti tersebut. Misalnya, hukuman cambuk diganti dengan hukuman denda atau yang lainnya. Dalam tradisi sistem pemerintahan Jawa tempo dulu pun, pengganti hukuman sejenis subsider tersebut telah dilakukan di Kraton Surakarta Hadiningrat.

Hal itu tampak pada naskah undang-undang Nawala Pradata pada awal abad ke 18 (zaman Sunan Pakubuwana IV) yang dijadikan landasan bagi peradilan hukum perdata, pidana, maupun hukum agama di Kraton Surakarta. Dalam naskah undang-undang Nawala Pradata tersebut, banyak pasal yang menyebutkan seseorang divonis dengan hukuman A. Namun, hukuman itu dapat ditukar dengan hukuman yang lain (hukuman B sebagai pengganti hukuman A).

Sebagai misal, seseorang divonis dengan hukuman denda (berupa sejumlah uang yang disebutnya dengan satuan reyal). Akan tetapi, jika seorang terdakwa tidak mampu membayar pidana denda itu, hukuman denda itu dapat ditukar dengan hukuman cambuk (dalam istilah bahasa Jawa disebut dengan gitik ‘cambuk) atau ditukar dengan hukuman buang (dalam bahasa Jawa disebut buwang ‘pembuangan’) ke salah satu tempat yang telah ditentukan dalam kitab hukum tersebut.

Dalam perkembangannya, Indonesia yang menganut sistem peradilan Barat—pengaruh budaya Eropa dan sebagainya—tepat memakai tradisi penggantian hukuman tersebut sehingga kata subsider benar-benar lekat dengan bahasa hukum dan peradilan. Maka dari itu, kata subsider merupakan kata yang populer dalam bidang hukum dan peradilan. Sekali lagi, penulis tegaskan bahwa makna kata subsider adalah pengganti. Secara spesifik dalam bahasa hukum, kata subsider berarti hukuman pengganti.

Oleh sebab itu, silakan pembaca untuk mencermati contoh pemakaian subsider berikut ini.

  • Koruptor itu divonis hukuman penjara 15 tahun subsider denda 2 milyar rupiah.
  • Karena terbukti melakukan perampokan sebuah toko emas, pria dari dua anak yang masih kecil itu divonis 10 tahun penjara subsider denda 50 juta rupiah.
  • Banyak yang menilai bahwa hukuman 7 tahun penjara subsider 5 juta rupiah itu belum menggambarkan rasa keadilan masyarakat umum.
  • Ia memang divonis 2 tahun penjara subsider 1 juta rupiah. Namun, karena orang miskin, ia memilih pidana 2 tahun penjara.
  • Sering kali vonis pidana penjara itu tidak seimbang dengan subsider berupa denda sehingga terdakwa yang kaya memilih membayar denda daripada harus mendekam dalam ruang tahahan.

Berdasarkan contoh di atas, dapat dipahami sebagai berikut ini. Hukuman 15 tahun penjara (kalimat 1) dapat ditukar atau diganti dengan membayar  15 miliyar rupiah. Hukuman 10 tahun penjara dapat diganti dengan membayar 50 juta rupiah (kalimat 2). Hukuman 7 tahun penjara dapat diganti dengan membayar 5 juata rupiah (kalimat 3).

Hukuman 2 tahun penjara dapat ditukar dengan membayar 1 juta rupiah (kalimat 4). Dabn, kalimat (5) dapat dipahami bahwa hukuman penjara yang dijatuhkan pada seseorang tidak sebanding dengan pidana subsisder atau penggantinya (biasanya berupa pembayaran denda).***

Pardi Suratno, M.Hum., Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending